Friday, June 17, 2016

MAKALAH TEORI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN

TEORI-TEORI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN

A.     Teori  Evolusi
Veeger, Karel (1993:79), Charles Darwin(1809-1882) ia membuktikan bahwa  variasi dan diferensiasi besar di alam flora dan fauna merupakan hasil suatu proses yang amat lama. Proses itu bercirikan empat hal yaitu struggle for life, survival of the fittest , natural selection dan progress.
Aguste Comte (1798-1857) mengambil ciri khas manusia yaitu akal budinya sebagai prinsip evolusi. Akal budi manusia dikekang oleh suatu hukum atau daya gerak evolusioner dari dalam diri yang secara bertahap menyebabkan umat manusia mula-mula berpikir kongkret dan partikular, lantas berpikir abstrak dan umum dan akhirnya positif dan empiris.
Dadang supardan(155-156) menjelaskan bahwasannya dalam buku yang berjudul principles of sociology (1876-1896) Herbert Spencer, seorang sosiologi inggris mengemukakan Teori Evolusi Sosial sebagai berikut:
1.       Masyarakat yang merupakan suatu organisme, berevolusi menurut pertumbuhan manusia seperti tubuh yang hidup, masyarakat bermula seperti kuman yang berasal dari massa yang dalam, segala hal dapat dibandingkan dengan massa itu dan sebagian diantaranya akhirnya dapat didekati. (Spencer dalam Lauer, 2003:80).
2.       Suku primitif berkembang melalui peningkatan jumlah anggotanya,perkembangan itu mencapai suatu titik dimana suatu suku terpisah menjadi beberapa suku yang secara bertahap timbul beberapa perbedaan satu sama lain. Perkembangan ini dapat terjadi, seperti pengulangan maupun terbentuk dalam proses yang lebih luas dalam penyatuan beberapa suku. Penyatuan itu terjadi tanpa melenyapkan pembagian yang sebelumnya disebabkan oleh pemisahan.
3.       Pertumbuhan masyarakat tidak sekedar menyebabkan perbanyakan dan penyatuan kelompok, tetapi juga meningkatkan kepadatan penduduk atau meningkatkan solidaritas, bahkan massa yang lebih akrab.
4.       Dalam tahapan masyarakat yang belum beradab (uncivilised) itu bersifat homogen karena mereka terdiri dari kumpulan manusia yang memiliki kewenangan, kekuasaan,  dan fungsi yang relatif sama terkecuali masalah jenis kelamin.
5.       Suku nomaden memiliki ikatan karena dipersatukan oleh ketundukan kepada pemimpin suku. Ikatan ini mengikat hingga mencapai masyarakat beradab yang cukup untuk diintegrasikan bersama selama “selama 1000 tahun lebih “.
6.       Jenis kelamin pria, didentikkan dengan simbol-simbol yang menuntut kekuatan fisik, seperti keprajuritan, pemburu, nelayan, dan lain-lain.
7.       Kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi munculnya keluarga yang sifatnya tidak tetap atau nomaden.
8.       Wewenang dan kekuasaan seseorang ditentukan oleh kekuatan fisik dan kecerdikkan seseorang, selanjutnya kewenagan dan kekusaan tersebut memiliki sifat yang diwariskan dalam keluarga tertentu.
9.       Peningkata kapasitaspun menandai proses pertumbuhan masyarakat. Organisasi-organisasi sosial yang mulanya masih samar-samar, pertumbuhannya mulai mantap secara perlahan-lahan, kemudian adat menjadi hukum, hukum menjadi semakin khusus dan institusi sosial semakin terpisah berbeda-beda. Jadi, dalam berbagai hal memenuhi formula evolusi. Ada kemajuan menuju ukuran, ikatan, keanekaragaman bentuk, dan kepastian yang semakin besar (Spencer dalam Lauer, 2003:81).
10.   Perkembanganpun ditandai oleh adanya pemisaha unsur-unsur religius da sekuler. Begitupun sistem pemerintahan  bertambah kompleks, diferensiasipun timbul dalam organisasi sosial, termasuk tumbuhnya kelas –kelas sosial dalam masyarakat yang ditandai oleh suatu pembagian kerja.

B.     Teori Struktural Fungsionalisme
Pendekatan fungsionalisme tidak bersifat historis dan tidak mengikuti  perkembangan suatu gejala social, seperti  misalnya keluarga dalam tahap-tahapnya dikurun waktu melainkan statis.  Veeger, Karel J (1993 : 87), Gerhard dan Jean Lenski dalam bukunya Human Societies (1974 : 28) menyebutkan  enam keharusan fungsional yaitu komunikasi, produksi, distribusi, pertahanan, penggatian anggota lama, dan kontrol sosial.
Teori menekannkan pada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi,disfungsi,fungsi laten,fungsi manifest, dan keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap stuktur dalam system social,fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional terhadap yang lain maka struktur itu tidak aka nada atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini adalah Robert K.Merton dan Talcott Parson.
Penganut teori ini hanya cenderung untuk melihat kepada sumbangan suatu system peristiwa terhadap system yang lain dan karena itu mengabaikan bahwa suatu peristiwa atau suatu system dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalm suatu system social. Secara ekstrim teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah funsional bagi masyarakat. Dengan demikian pada tingkat tertentu.misalnya peperangan,ketidaksamaan social,perbedaan ras, bahkan kemiskinan,”diperlukan” oleh suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik,penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah begaimana cara menyelesaikan sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Beberapa ahli teori modern yang dianggap sebagai wakil tradisi ‘ talcott pnarsons dan Robert K merot, para sosiolog yang kurang terkenal juga mengemukan bahasa dan konsep fungsionalisme walaupun terkadang tanpa menguji konsep secara krotis atau hanya mengapresiasikan implikasi penggunaan belaka.
Asumsi-asumsi dasarnya adalah bahwa seluruh struktur social atau setidaknya yang diprioritaskan, menyumbangkan terhadap suatu interaksi dan adapti system yang berlaku. Pada umumnya para fungsionalis telah mencoba menunjukkan bahwa suatu pola yang ada telah memenuhi “ kebutuhan system “ yang pital dan menjelaskan eksistensi pola tersebut. Zeitlin (1998, hal 03).
C.     Teori Konflik
Tokoh utama dalam teori ini, selain Karl Marx, adalah Ralp Dahrendorf,Georg Simmel,C.Wright Mills, dan L.A Coser. Asumsi dasar teori konflik ini antara lain bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen dalam masyarakat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social. Keteraturan yang terdapat dalam suatu masyarakat itu hanyalah disebabkn karena adanya tekanan atau pemaksaa kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Teori konflik ternyata agak mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping konflik itu sendiri.
Veeger, Karel J (1993 : 92), teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga seperti kekuasaan dan wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka, sehingga tidak dapat dibagi sama rata diantara rakyat. Maka telah muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa diri dirugikan dan menginginkan porsi lebih besar bagi dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau mencegah pihak lain memperoleh atau menguasai barang itu.
Teori konflik dalam sosiologi untuk sementara waktu membatasi diri dan hanya bermaksud menerangkan antagonisme atau ketegangan antara pihak berkuasa dengan pihak yang dikuasai dalam rangka pengorganisasian struktural yang tertentu.
Penalaran teori konflik adalah sebagai berikut :
1.       Kedudukan orang-orang didalam kelompok atau masyarakat tidak sama, karena ada pihak yang berkuasa dan berwenang dan ada pihak yang tergantung.
2.       Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula.
3.       Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda itu tidak disadari dan karenanya dapat disebut “kepentingan sembunyi “(latent interests) yang tidak akan meletuskan aksi.
4.       Konflik itu akan berhasil membawa perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, kalau kondisi-kondisi  tertentu telah dipenuhi yaitu kondisi –kondisi yang menyangkut keorganisasian, kondisi-kondisi  yang menyangkut konflik sendiri dan ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan struktural.
Teori konflik memandang bahwa kemiskinan didunia ketiga sebagai akibat proses perkembangan kapitalis didunia barat. Kalau Negara yang berkembang ingin maju maka harus mampu melepaskan dan memutuskan hubungan dengan Negara-negara kapitalis. Teori konflik ini meskipun sangat ringkih namun mendapat dukungan yang luas terutama dari kalangan intelektual muda dikalangan Negara yang berkembang.
Perkembangan pendidikan hanya merupakan suatu proses strata pikasi social yang cenderung memperkuat posisi kaum yang selam ini memiliki keistimewaan. Beberapa asumsi dari teori konflik ;
1.       Manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka inginkan dan berusaha untuk mendapatkannya
2.       Kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan social
3.       Ideology dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok yang berbeda dan mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan sendiri
Teori konflik sangat bertentangan dengan teori structural fungsional, penganut paham teori konflik terdapat perbedaan yang tajam dan tidak kalah serunya dengan perbedaan penganut struktural fungsional. Zamroni (1988, hal 30-32).
Asumsi dasar teori konflik menurut karl marx menyatakan bawa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Syamsir (2006, hal 09)
D.     Teori Aksi
Syamsir ( 2006,hal 09-10) menjelaskan, Teori ini sepenuhnya mengikuti karya max  weber. Tokoh teori ini antara lain plorient znaniccki, Robert max iver talcol parson, hinkle parto dan Durkheim. Asumsi dasar teori aksi adalah bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek ; sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu.
Beberapa asumsi fundamental teori aksi yang dikemukakan oleh linkle dengan merujuk karya max iver znanniccki dan parson adalah sebagai berikut :
1.       Tindakan manusia muncul ari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi dalam posisinya sebagai objek
2.       Sebagai subjek manusia bertindak untuk mencapai tujuan tertentu
3.       Dalam bertindak manussia menggunakan cara, teknik, prosedur, serta perangkat yang cocok untuk mencapai tujuan
4.       Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya
5.       Manusia memilih menilai mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya
6.       Aturan ukuran prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan study mengenai antar hubungan social memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subjekti

E.     Teori Interaksionisme Simbolik 
Istilah “ interaksionisme Simbolik” berasal dari Herbeart Blumer, yang telah mengembangkan teori dari George Herbert Mead. Veeger,Karel J (1993 : 95), Blumer, Herbeart dan George Herbert  Mead menegaskan bahwa perilaku manusia tidak dapat diuraikan secara memadai dengan hanya memakai skema-skema determinitis seperti skema stimulus-respons dari  behaviorisme atau skema variable independen –variabel  dependen dari fungsionalisme.
Interaksionisme Simbolik memahami perilaku sebagai  rancangan yang artinya manusia sendiri membentuk perilakunya dengan memakai unsur-unsur  yang disediakan oleh situasi. Gambaran masyarakat Interaksionisme  Simbolik berlainan dari gambaran yang dibuat oleh Funsionalisme. Dimana berhadapan dengan suatu gambaran yang statis dan beku , Interaksionisme Simbolik memperlihatkan  gambaran yang pluralistik dan serba berubah-ubah.
F.       Teori  Fenomenologi
Syamsir (2006, hal 11), Alfred de eschutz berpendapat bahwa teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social.
Walaupun istilah fenomenologi untuk menandai suatu metode filsafat yang ditemukan oleh Edmund huserl, namun mereka yang telah merujukkan diri mereka dengan menamakan kaum fenomenologis atau yang dianggap kaum lain. Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau suatu system. Bahkan istilah ” gerakan “ sebagai mana yang digunakan penganut sejarah fenomenologi mengalamatkan suatu kesalahan, ketidak jelasan label fenomenologi tidak menurunkan famornya yang telah diperkenalkan sejak decade abad 19-an. Zeidlin (1998, hal 208).
G.      Etnometodologi
Entometodologi adalah cabang dari fenomenologi yang mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan atau ungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Menurut teori ini seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti/makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagimana orang-orang atau anggota masyarakat membangun dunia sosialnya sendiri dan mencoba menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Misalnya di Manggarai ada istilah Bisbalar dan Gegerta. Kedua ungkapan ini sering ditemukan dalam sebuah perkawinan. ‘Bisbalar’ artinya bisa dibawa larikah! Dan jawaban dari pemudi;”Gegerta’ artinya tunggu hingga pagi hari. Arti ungkapan itu adalah bahwa pemudi mau di bawa lari tapi tunggu hingga pagi tiba. Dalam tiap masyarakat memiliki peribahasa atau ungkapan-ungkapan semacam ini yang harus ditemukan artinya oleh seorang sosiolog.
Tokoh terkemuka teori ini adalah Harold Garfinkel.
H.    Teori perilaku (Behavioral theory)
Teori perilaku dibangun dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkunagn actor dengan tingkah laku actor. Konsep dasar teori ini adalah mengenai “reinforcement”(penguatan) yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reword).
Tak ada sesuatu yang melekat dalam dalam objek yang dapat menimbulkan ganjaran. Pengulangan tinglah laku tak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap perilaku itu sendiri. Perulanagn dirumuskan dalam pengertiannya terhadap actor. Suatu ganjaran yang tak membawa pengaruh terhadap actor tak akan diulang.

I.       Teori pertukaran (Exchange Theory)
Tokoh utam teori ini adalah George human. Teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigm fakta sosial, terutama menyerang Durkheim, terutama pandanagnnya terhadap emergence (kemunculan reaksi) dan psikologi. Proposisi yang perlu diperhatikan antara lain adalah bahwa tinggi ganjaran (reword) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku yang akan diulang, dengan demikian pula sebaliknya. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang kan diperoleh, maka kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang. Adanya hubungan berantai antara berbagi stimulus dan antara berbagi tanggapan.

Implikasi  teori-teori sosiologi dalam pendidikan

1.      Teori structural fungsional
Dimana teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang menekankan pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya dengan pendidikan, Talcot Parson mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya:
a.       Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Dimana sekolah mengubah orientasi kekhususan ke universalita salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadapdunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat, dll) ke peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasiyang sesungguhnya.
b.      Sekolah sebagai seleksi dan alokasi dimana sekolah memberikan motivasi-motivasi prestasi agar dapatsiap dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul.
c.       Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya.
2.       Teori Konflik
Dimana dalam teori ini tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber,stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum tetntu mereka yang berpendidikan tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
3.      Teori interaksionisme simbolik
Dimana teori ini berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada tingkat individual yang realita sosial itu tidak ada. Sebagai contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting, namun bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat
4.      Teori aksi
Bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek ; sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi usaha seorang guru sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan dalam bentuk motivasi dan penguatan agar mereka lebih terpacu demi tercapainya suatu tujuan.
5.       Teori Evolusi
Ciri khas manusia yaitu akal budinya sebagai prinsip evolusi. Akal budi manusia dikekang oleh suatu hukum atau daya gerak evolusioner dari dalam diri yang secara bertahap menyebabkan umat manusia mula-mula berpikir kongkret dan partikular, lantas berpikir abstrak dan umum dan akhirnya positif dan empiris.  Dalam teori ini terjadinya perubahan pola pikir manusia akibat dari perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun dari luar diri manusia tersebut,disini pendidikan juga berperan penting dalam mengubah pola pikir seseorang dari ia tidak tau menjadi tau sehingga akal dan budinya pun akan berubah dan menjadi manusia yang lebih baik. Berguna untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
6.      Teori fenomenologi
Tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social. Maka dari itu pentingnya penanaman nilai tolong menolong dan saling memberi kepada anak semenjak dini. Seperti pepatah “ Siapa yang menuai benih ia akan menuai padi,Jika ia menuai angin maka ia akan menuai badai “.
7.      Teori Etnometodologi
Entometodologi adalah cabang dari fenomenologi yang mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan atau ungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Pendidikan tidak hanya akan mengubah kehidupan seseorang melalui ilmu yang diberikan tetapi juga cara pemikiran seseorang melalui semua hal yang ia dapat baik dari manusia itu sendiri (guru) tetapi juga alam
8.      Teori perilaku
Teori ini memusatka perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan actor dengan tingkah laku actor. Konsep dasar teori ini adalah mengenai “reinforcement”(penguatan) yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reword). Metode seperti ini dapat digunakan dalam pembelajaran diPAUD karena anak usia dini memiliki rasa ingin ingin tahu yang sangat tinggi, biarkan ia melakukan apa yang ia hendak lakukan tugas kita hanya mengawasi, maka ia akan tahu apa pembelajaran yang ia dapat dari aktifitas yang ia lakukan akan mendapatkan penguatan atau reword .
9.      Teori pertukaran
Bahwa tinggi ganjaran (reword) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku yang akan diulang, dengan demikian pula sebaliknya. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan diperoleh, maka kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang. Adanya hubungan berantai antara berbagi stimulus dan antara berbagi tanggapan Hampir sama dengan teori tingkah laku, teori pertukan ini merupakan yang dampak dari apa yang telah kita lakukan,sama halnya dengan pembagian nilai disekolah jika anak mendapatkan nilai yang tinggi dan ia mendapatka penguatan maka ia akan belajar lebih giat dan akan mempertahankannya. Begitupun sebaliknya.



MAKALAH KESULITAN BELAJAR

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
            Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada dalam sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.
            Pada masa sekarang ini banyak sekali anak-anak mengalami kesulitan dalam belajar. Hal tersebut tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan kurang saja. Hal tersebut juga dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu, siswa yang berkemampuan rata-rata juga mengalami kesulitan dalam belajar. Sedang yang namanya kesulitan belajar itu merupakan kondisi proses belajar yang ditandai oleg hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai kesuksesan.
            Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan oleh faktor intelegensi yang rendah (kelainan mental) akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor non-intelegensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu mendapat jaminan keberhasilan belajar, karena dalam rangka
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang  yang ada, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian kesulitan belajar?
2.      Apa sajakah faktor-faktor kesulitan belajar?
3.      Bagaimanakah diagnosis kesulitan belajar?
4.      Apa sajakah jenis-jenis kesulitan belajar?
5.      Bagaimana karakteristik kesulitan belajar?
6.      Bagaimana ciri-ciri kesulitan belajar dan gejalanya?
C.     Tujuan
Untuk mengetahui:
1.      Pengertian kesulitan belajar
2.      Faktor-faktor kesulitan belajar
3.      Diagnosis kesulitan belajar
4.      Jenis-jenis kesulitan belajar
5.      Karakteristik kesulitan belajar
6.      Ciri-ciri kesulitan belajar dan gejalanya
D.    Kajian Teori
Gangguan yang menyebabkan masalah dalam berbicara, mendengarkan, membaca, menulis atau kemampuan matematika, juga gangguan perkembangan spesifik. Kesulitan belajar adalah gangguan dalam kemampuan belajar termasukdalam hal berbicara, membaca, menulis, atau kemampuan matematika. Anak yang mengalami kesulitan belajar terlihat dari kemampuan akademiknya satu atau dua tahun dibawah dari anak usianya dengan intelegensi normal. Sering kali kesulitan belajar ini tampak bersamaan dengan kesuliotan lain seperti ADHD (Attention Deficit Hyperactyvity Disorder) yang disebabkan ketidakteraturan fungsi daribagian tertentu pada otak.



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Kesulitan Belajar
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun, dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang itu terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori “di luar rata-rata” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya.
Kesulitan belajar adalah kondisi dimana anak dengan kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan perhatian, penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam Weiner, 2003).
Dari sini timbullah apa yang disebut kesulitan belajar (learning difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
B.     Faktor-faktor Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk kuliah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam.
1.      Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam siswa sendiri.
2.      Faktor ektern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut dibawah ini.
1.      Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
a.       Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa;
b.      Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
c.       Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihatan dan pendengar (mata dan telinga).
d.      Fisiologi
Faktor fisiologi adalah factor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
e.       Psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.
2.      Faktor ektern siswa
Faktor ektern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Dari lingkungannya dibagi menjadi 3 macam:.
a.                   Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
b.                  Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
c.                   Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Adapun faktor-faktor ekternnya adalah sebagai berikut:
a.       Social.
Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
b.      Non-social
Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah, kurikulum dan sebagainya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli yang menaruh perhatian terhadap masalah kesulitan belajar, ditemukan sejumlah faktor penyebabnya, diantaranya:
1.      Keturunan
Di Swedia, Hallgren melakukan penelitian dengan objek keluarga dan menemukan rata-rata anggota tersebut mengalami kesulitan dalam membaca, menulis dan mengija, setelah diteliti secara lebih mendalam, ternyata salah satu faktor penyebabnya adalah faktor keturunan.
2.      Otak
Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lamban belajar mengalami gangguan pada syaraf otaknya. Pendapat ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit. Beberapa peneliti menganggap bahwa terdapat kesamaan ciri pada perilaku anak yang mengalami kelambanan atau kesulitan belajar dengan anak yan ab-normal. Hanya saja anak yang lamban atau kesulitan belajar memiliki adanya sedikit tanda cedera pada otak, oleh karena itu para ahli tidak terlalu menganggap cedera otak sebagai penyebabnya, kecuali ahli syaraf membuktikan ini.
3.      Pemikiran
Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menmgalami kesulitan dalam menerima penjelasan tentang pelajaran. Salah satu penyebabnya adalah mereka tidak dapat mengorganisasikan cara berpikir secara baik dan sistematis. Para ahli berpendapat bahwa mereka perlu dilatih berulang-ulang, dengan tujuan meningkatkan daya belajarnya.
4.      Gizi
Berdasarkan penelitian para ahli yang dilakukan terhadap anak-anak dan binatang, ditemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kesulitan belajar dengan kekurangan gizi. Artinya, kekurangan gizi menjadi salah satu penyebab terjadinya kelambanan atau kesulitan belajar.
5.      Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan adalah hal-hal yang tidak menguntungkan yang dapat nengganggu perkembngan mental anak, baik yang terjadi di dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Meskipun faktor ini dapat pengaruhi kesulitan belajar, tetapi bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya kesulitan belajar. Namun, yang pasti faktor tersebut dapat mengganggu ingatan dan daya konsentrasi anak.
6.      Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan belajar.

Selain faktor-faktor yang bersifat umum diatas, adapula faktor yang yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber,1998) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
1.      Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan membaca.
2.      Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.
3.      Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom diatas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Rebert, 1988).
C.     Diagnosis Kesulitan Belajar
Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenal gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.
D.    Jenis Kesulitan Belajar
Jenis kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut:
Dilihat dari jenis kesulitan belajar: ada yang berat ada yang sedang. Dilihat dari bidang studi yang dipelajari: ada yang sebagian bidang studi yang dipelajari, dan ada yang keseluruhan bidang studi. Dilihat dari sifat kesulitannya: ada yang sifatnya permanen / menetap, dan ada yang sifatnya hanya sementara. Dilihat dari segi factor penyebabnya: ada yang Karena factor intelligensi, dan ada yang karena factor bukan intelligensi.Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis. Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities.
1.                Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2.                Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai dengan baik.
3.                Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau rendah.
4.                Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5.                Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
E.     Karakteristik Kesulitan Belajar
Menurut Valett (dalam Sukadji, 2000) terdapat tujuh karakteristik yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan belajar khusus.
1.      Sejarah kegagalan akademik berulang kali
Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi berulang-ulang. Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal sehingga melemahkan usaha.
2.      Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan kesulitan belajar
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3.      Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan lain.
4.      Kecemasan yang samar-samar, mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera datang, yang tidak pasti dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk melamun atau tidak memperhatikan.
5.      Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga
Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran. Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini lebih merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri
6.      Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang lengkap seorang anak digolongkan keterbelakangan mental tetapi terlihat perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang keterbelakangan mental.
7.      Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar. Kadang-kadang kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang pengalaman yang didapat dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar
F.      Ciri-Ciri Kesulitan Belajar dan Gejalanya
1.      Gangguan Persepsi Visual
·        Melihat huruf/angka dengan posisi yang berbeda dari yang tertulis, sehingga seringkali terbalik dalam menuliskannya kembali.
·        Sering tertinggal huruf dalam menulis.
            Menuliskan kata dengan urutan yang salah misalnya: ibu ditulis ubi.
·        Kacau (sulit memahami) antara kanan dan kiri.
·        Bingung membedakan antara obyek utama dan latar belakang.
·        Sulit mengkoordinasi antara mata (penglihatan) dengan tindakan (tangan, kaki dan lain-lain).
2.      Gangguan Persepsi Auditori
·        Sulit membedakan bunyi; menangkap secara berbeda apa yang didengarnya.
·        Sulit memahami perintah, terutama beberapa perintah sekaligus.
·        Bingung/kacau dengan bunyi yang datang dari berbagai penjuru (sulit menyaring) sehingga susah mengikuti diskusi, karena sementara mencoba memahami apa yang sedang didengar, sudah datang suara (masalah) lain.
3.      Gangguan Belajar Bahasa
·        Sulit mengkoordinasikan/mengatakan apa yang sedang dipikirkan.
4.      Gangguan Perseptual-Motorik
·        Kesulitan motorik halus (sulit mewarnai, menggunting, menempel, dsb.)
·        Memiliki masalah dalam koordinasi dan disorientasi yang mengakibatkan canggung dan kaku dalam gerakannya.
5.      Hiperaktivitas
·        Sukar mengontrol aktifitas motorik dan selalu bergerak (tak bisa diam)
·        Berpindah-pindah dan satu tugas ke tugas lain tanpa menyelesaikannya
6.      Kacau (distractability)
·        Tidak dapat membedakan stimulus yang penting dan tidak penting
·        Tidak teratur, karena tidak memiliki urutan- urutan dalam proses pemikiran
·        Perhatiannya sering berbeda dengan apa yang sedang dikerjakan






BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan terapi terhadap permasalahan kesulitan belajar maka dapat ditempuh melalui media klinik pembelajaran. Pembelajaran merupakan wadah bagi guru untuk melakukan serangkaian upaya yaitu kegiatan refleksi, penemuan masalah, pemecahan masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan ketrampilan dalam mengelola pembelajaran. Strategi utama yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas.
Karena Pembelajaran merupakan milik bersama para guru, maka tempat ini dapat digunakan dengan bebas untuk berdiskusi, melakukan refleksi atau merenung tentang proses pembelajaran yang telah dijalani, bersimulasi, misalnya bagaimana cara mengajarkan suatu konsep dengan menyenangkan, dan membuat catatan bersama-sama dengan teman sejawat. Dalam Pembelajaran, para supervisor akan membantu dalam melakukan berbagai kegiatan tersebut.
Dalam analisis kesulitan pembelajaran dapat dilalui dengan identifikasi kesulitan belajar, mengadakan diagnosis kesulitan belajar, melakukan bimbingan dan konseling belajar, dan kemudian menetapkan model pembelajaran serta mengatasi kesulitan belajar.
Pada dasarnya semua anak memiliki kemampuan, walaupun mungkin saja kemampuan yang dimiliki berbeda satu dengan yang lainnya. pada tingkat pendidikan dasar berbagai kemampuan tersebut masih memiliki relasi yang kuat, membaca, menulis, serta berhitung. Masalah yang mungkin ada pada pada salah satu kemampuan tersebut dapat menggangu kemampuan yang lain.
Dengan demikian apa yang kita sering lakukan baik sebagai seorang orang tua, ataupun seorang guru dengan mengatakan seorang anak yang mendapatkan nilai yang rendah merupakan anak yang bodoh dan gagal perlu menjadi perhatian kita. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa mungkin saja anak hanya mengalami gangguan pada salah satu kemampuan tadi, dan ia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu, yang terpenting bagi kita adalah dapat menelaah dengan baik perkembangan anak kita. Diagnosis terhadap permasalahan sesungguhnya yang dialami anak mutlak harus dilakukan. Dengan demikian kita akan mengetahui kesulitan belajar apa yang dialami anak, sehingga kita dapat menentukan alternatif pilihan bantuan bagaimana mengatasi kesulitan tersebut.

Anak-anak berkemampuan tinggi, tetapi mengalami hambatan dalam belajar meskipun jumlah mereka tidak banyak, namun perlu dicermati. Karena sesungguhnya mereka adalah aset yang berharga. Kendala yang nampak untuk membantu mereka adalah kesulitan dalam mengidentifikasi mereka. Seringkali potensi tinggi mereka tertutupi oleh kekurangannya. Bahkan ada sebagian dari mereka tidak pernah dikenal sebagai anak berbakat atau gifted, tetapi lebih dikenal sebagai anak bermasalah.

LOGO SMP-IT ALKHOIRIYYAH GARUT