Tuesday, October 13, 2015

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno) mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di dalamnya etika).
Pendidikan secara harfiah berasal kata didik, yang mendapat awalan pen akhiran an. berarti perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Kata lain ditemukan peng(ajar)an berarti cara (perbuatan dan sebagainya) mengajar atau mengejarkan. Kata lain yang serumpun adalah mengajar berarti memberi pengetahuan atau pelajaran. Kata pendidikan berarti education (inggris), kata pengajaran berarti teaching (inggris). Pengertian dalam bahasa Arab kata pendidikan (Tarbiyah) – pengajaran (Ta’lim) yang berasal dari ‘allama dan rabba. Dalam hal ini kata tarbiyyah lebih luas konotasinya yang berarti memelihara, membesarkan, medidik sekaligus bermakna mengajar (‘allama). Terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti susunan.
Dari segi bahasa Arab kata Islam dari salima (kemudian menjadi aslama), kata Islam berasal dari isim masdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam keadaan selamat. Yakni dengan sikap seseorang untuk taat, patuh, tunduk dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT; sebagaimana seseorang bias disebut Muslim. Selanjutnya Allah SWT memakai kata Islam sebagai nama salah satu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan-Nya kepada manusia melalui Muhammad SAW (sebagai Rasul-Nya). Sebagai agama Islam diakui memiliki ajaran yang komprehensif (al-Qur’an) dibandingkan dengan agama-agama lain yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.
Setelah dijelaskan satu persatu yang tersebut di atas, diyakini belum dijelaskan secara lebih khusus mengenai apa itu filsafat pendidikan Islam?
Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia (Muslim) yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya. Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal menurut Ahmad D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan.
Dari uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, serta pendapat para ahli (khususnya para filosof Muslim) sebagai sumber skunder.
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang serba mendasar, sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.
C. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan, menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, antaralain:
(1) Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan;
(2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh; dan,
(3) Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di negara kita.
Selain kegunaan yang tersebut di atas filsafat pendidikan Islam juga sebagai proses kritik-kritik tentang metode –metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam, sekaligus memberikan arahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam harus bertugas dalam 3 dimensi, yakni:
(1) Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam;
(2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut; dan,
(3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
D. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Prihal yang menyangkut metode pengembangan filsafat pendidikan Islam yang berhubungan erat dengan akselerasi penunjuk operasional dan teknis mengembangkan ilmu, yang semestinya didukung dengan penguasaan metode baik secara teoritis maupun praktis untuk tampil sebagai mujtahid atau pemikir dan keilmuan. Asumsi yang terbangun bahwasannya karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani (Falsafah Pendidikan Islam) yang tidak membahas metode tersebut. Apalagi mencukupkan sumber analisa hanya pada Plato dan Aritoteles-isme, padahal sefaham dengan para filosof Muslim (al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan yang sealiran dengannya). Kuat kemungkinannya ia terperangkap oleh missi dan strategi Barat yang mensupremasi dalam segala bidang.
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam paling tidak bersumber pada 4 hal, yakni:
(1) Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
(2) Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan serta bahan teoritis lapangan;
(3) Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
(4) Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
Adapun yang dikembangkan dan dikaji masalah filsafat pendidikan Islam, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga disiplin ilmu tersebut, yaitu: filsafat, ilmu pendidikan dan ilmu ke islam an. sebagaimana uraian terdahulu, yakni sebuah kajian tentang pendidikan yang radikal, logis, sistematis dan universal. Namun cirri-ciri dari berfikir filosofis ini dibatasi dengan ketentuan ajaran Islam.


Sunday, October 11, 2015

SEJARAH MADRASAH DI INDONESIA

PEMBAHARUAN MADRASAH DI INDONESIA

Madrasah sebagai institusi pendidikan kegamaan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Menurut keterangan Maksum (1999) madrasah di Indonesia masih bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau. Menarik untuk dicatat bahwa diukur dari ketentuan-ketentuan fisik pada abad 11-12 M struktur pesantren di Indonesia agaknya menyerupai madrasah di Baghdad abad 11-12 M. dalam madrasah abad pertengahan, syekh atau professor ditempatkan sebagai pemegang otoritas, sedangkan fungsi sama dipegang oleh figur Kyai, yang tidak hanya berfungsi sebagai guru tetapi juga sebagai pemimpin.

Dalam ketidakjelasan hubungan madrasah abad 11-12 di Timur Tengah dengan pesantren di Indonesia tersebut, sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia agaknya tetap dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri dan ini dikembalikan pada situasi awal abad 20. Hal ini mengasumsikan bahwa madrasah di Indonesia bukanlah madrasah dalam tradisi pendidikan Islam abad 11-12 seperti di Timur Tengah; namun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah masa modern.
Macam-macam Jenis Madrasah
o    Berdasarkan Tingkat Jenjang Pendidikannya

Terbagi menjadi tiga tingkat yaitu pertama Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar. Kedua, Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI. Dan yang ketiga Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.

PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH

Pendidikan Islam Pada Madrasah
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang moderenisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas social ekonomi pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras,etnik, jender, kelas, dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup.
Konsep ini setidaknya bertumpuh pada dua keyakinan. Pertama,secara sosial semua kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan resisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain, Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala pendidikan.
Sejujurnya, konsep pendidikan yang pernah diterapkan di negara ini masih jauh dari harapan. Keberadaan sistem seperti Madrasah sendiri sudah cukup lama. Sayangnya, sebaik apapun sistem itu tetap saja tidak mampu 'menularkan'. Singkat saja, sistem pendidikan seharusnya mengarahkan anak didiknya untuk bisa berpikir dewasa, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk lingkungan, keluarga, masyarakat, dan Insya Allah untuk bangsa ini. Dewasa yang dimaksudkan di sini, bukan sekedar bisa membedakan mana yang salah atau benar, tapi juga bisa mendahulukan mana yang menjadi kepentingan banyak orang dan kepentingan kelompok/pribadi. Saya akui, tidak mudah untuk mencapai harapan tersebut.
Secara  operasional, pembinaan bangsa dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Pendidikan sangat diperlukan guna memberikan prespektif, interpretasi dan warna lokal atas jalannya sejarah bangsa ini. Dengan memberikan identitas sejarah kepada penduduk lokal, masyarakat merasa mendapat tempat dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) sebagai salah satu unsur pendidikan nasional mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional terutama dalam mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Peranan yang penting itu seirama dengan derap langkah pembangunan.Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat tugas madrasah adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang tangguh guna memasuki era otonomi daerah dan otonomi pendidikan.
Peningkatan kualitas merupakan salah satu prasyarat agar kita dapat memasuki era globlalisasi yang penuh dengan persaingan. Keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tidak akan lepas dari persaingan global tersebut. Untuk itu peningakat kualitas merupakan agenda utama dalam meningkatkan mutu madrasah agar dapat survive dalam era global.
Sekaitan dengan perlunya menggagas sekolah agama dan madrasah yang berwawasan multikultural maka tulisan ini akan mencoba mengkaji sebagaimana yang di amanahkan oleh panitia yakni dengan terlebih dahulu mengantarkan kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah, peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme yang telah menghangat dengan segala konsekuensi dan idiologi yang di usungnya.

B. RUMUSAN MASALAH
            Adapun beberapa masalah yang dihadapi antara lain adalah sebagai berikut ;
1.                   Bagaimana Madrasah dan pendidikan agama Islam mengaktualisasikan peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat?
2.                   Bagaimana kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah?
3.                   Apa peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme?
C. TUJUAN
             Adapun tujuan pembutan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut :
1.                   Untuk mengetahui Madrasah dan pendidikan agama Islam mengaktualisasikan peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat
2.                   Untuk mengetahui kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah
3.                   Untuk mengetahui peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme
4.                   untuk memenuhi tugas mata kuliah selekta pendidikan yang diberikan kepada kami
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam Pada Madrasah
Adapun visi dari madrasah dan pendidikan agama Islam adalah terwujudnya manusia yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu, terampil dan mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya adalah menciptakan lembaga yang islami dan berkwalitas, menjabarkan kurikulum yang mampu memahami kebutuhan anak didik dan masyarakat, menyediakan tenaga kependidikan yang profesional dan memiliki kompotensi dalam bidangnya dan menyelenggarakan proses pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang berprestasi.
Berkaitan dengan perlunya menggagas sekolah agama dan madrasah yang berwawasan multikultural maka kami akan mencoba mengkaji sebagaimana yang di amanahkan oleh pemerintah yakni dengan terlebih dahulu mengantarkan kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah, peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme yang telah menghangat dengan segala konsekuensi dan idiologi yang di usungnya.
A. kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di madrasah
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama (Arief Subhan; 2005). Madrasah juga merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan nasional di Indonesia. Perannya begitu besar dalam menghasilkan output-output generasi penerus bangsa. Perjuangan madrasah untuk mendapatkan pengakuan ini tidak didapatkan dengan mudah. Karena sebelumnya eksistensi lembaga ini kurang diperhatikan bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—sekarang Departemen Pendidikan Nasional—.Yang ada justru sebaliknya, madrasah seolah hanya menjadi pelengkap keberadaan lembaga pendidikan nasional.[1]
Sebelum di jelaskan hal-hal apa saja yang di lakukan oleh Depag dalam memajukan sekolah agama dan madrasah kiranya perlu di jelaskan posisi pendidikan Agama dan madrasah dalam system pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan Islam telah lama eksis di bumi nusantara ini sejak masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam baik sebagai lembaga, sebagai mata pelajaran dan sebagai nilai cukup berperan dalam mencerdaskan bangsa.
Pendidikan Islam sebagai lembaga di akuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara ekplisit. Sebagai mata pelajaran di akuinya pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib di berikan pada tingkat dasar sampai pada perguruan tinggi. Lalu berikutnya Pendidikan Islam sebagai nilai, yakni ditemukannya nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional.
Untuk melihat eksistensi pendidikan Islam dalam ketiga kategori itu dalam UU No. 20 tahun 2003 baik sebagai lembaga, sebagai mata pelajaran dan sebagai nilai dapat dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut :[2]
Pendidikan Islam sebagai Lembaga baik MI, MTs, MA atau MAK atau Perguruan Tinggi diatur dalam pasal 17 dan Pendidikan keagamaannya diatur dalam pasal 30. Pendidkan Islam sebagai mata pelajaran dapat dilihat dalam pasal 36 ayat
Adapun pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk , demokratis, egalitarian, dan humanis.
Berangkat dari kondisi diatas akan jelas sekali bahwa eksistensi Pendidikan Agama Islam di madrasah sangat jelas dan dapat dirasakan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan dan memperdayaan dan sekaligus pengembangan Pendidikan Islam secara terus menerus. Diantara kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Agama dalam pembinaan Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (Mapenda) dapat dilihat sebagai berikut :
1.                   Pemerataan pendidikan, diarahkan untuk menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun (Wajar 9 tahun).
2.                   Peningkatan Mutu Pendidikan diseluruh jenjang pendidikan, baik ditingkat MI maupun MTs dan sertapeningkatan kualitas Pendidikan Agama Islam disekolah Umum.
3.                   Efektifitas dan efisiensi artinya penyelenggaraan pendidikan benar-benar dapat mencapai tujuan pendidikan yang maksimal dengan memanfaatkan biaya yang minimal.[3]
Adapun dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaannya adalah dengan terus melakukan pembinaan dan pelatihan kepada pendidik. Dalam kacamata Departemen Agama setidaknya ada empat kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik. Pertama , kompetensi keilmuan, Kedua, kompetensi keterampilan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik. Ketiga, kompetensi manjerial dan keempat adalah kompetensi moral akademik dimana ia mesti menjadi contoh panutan bagi anak didik dan masyarakat. [4]
Jika pengembangan dan pemberdayaan dilakukan sesuai dengan perencanaan sistem pendidikan dan menggunakan pendekatan system maka, akan mendapatkan manfaat-manfaat sebagai berikut:[5]
1.                   Menyeimbangkan ketidaktentuan
2.                   Meningkatkan penghematan operasi-operasi
3.                   Memusatkan diri dari tujuan
4.                   Menyediakan fasilitas bagi control.
Selain dari masalah pendidik juga dilakukan pemberdayaan sarana dan fasilitas, pengkajian kurikulum yang selama ini dianggap masalah yang tak pernah kunjung selesai. Selain itu, pembinaan bersifat struktural dan kultural. Tampaknya secara kultural Depag masih mengalami kendala yang sangat serius dimana umat Islam dan masyarakat luas belum memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada sekolah di lingkungan Depag dengan asumsi bahwa pendidikan di lingkungan agama kurang berbobot. Tantangan ini memang cukup menarik, tapi dengan semangat yang tidak kunjung menyerah Depag terus melakukan upaya-upaya dan terobosan terus-menerus.[6]

B. Peran dan Fungsi Departemen Agama
Dalam hal pembinaan, pengawasan dan pengembangan pendidikan agama di sekolah dan madrasah tidak lepas dari peraturan dan perundang-undangan yang ada. Selain UU No. 20 tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka Depag berpedoman kepada KMA No. 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota yakni pada pasal 2 dijelaskan tugas pokok dan fungsinya sebagai beerikut : “ Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi Departemen Agama dalam wilayah Propinsi berdasarkan kebijakan Menteri Agama dan peraturan perundang-undangan.”[7]
Adapun tugas dan fungsi bidang yang mengurusi pendidikan adalah Mapenda sebagaimana di sebut dalam pasal 31 yang menjelaskan sebagai berikut : “Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan dan bimbingan di Bidang penyelenggaraan pendidikan pada madrasah dan pendidikan agama Islam pada sekolah umum dan serta sekolah luar biasa”.
Pada pasal 32 menjelaskan fungsi Bidang Mapenda, pada pasal 33 seksi-seksi yang terdapat dalam Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada sekolah Umum. Pada pasal 34 penjelasan tugas dari seksi-seksi sebagaimana dimaksud pada pasal 33 diatas. Pada pasal 35 Tugas Pekapontren dan Penamas. Pada pasal 36 penjelasan tugas dari Pekapontren dan Penamas tersebut. Selanjutnya pada pasal 37-50 tentang pembagian seksi dan tugas dari bidang Pekapontren dan Penamas.[8]
Sejalan dengan modernisasi ekonomi dan politik orde baru ( ali dan effendi 1986 ) depag kemudian melamsirkan sejumlah langkah-langkah dalam modernisasi pendidikan islam. Dan madrasah kemudian menjadi sasaran utama kebijakan pendidikan depag, sehingga ia mengalami suatu proses pergeseran. Madrasah terus berkembang menjadi sekolah islam dibawah naungan depag.[9]
Proses ini bermula ketika depag yang saat itu dipimpin oleh Mukti Ali ( 1923-2004 ) berusaha lebih inisiatif menjadikan madrasah bagian dari pendidikan nasional. Setelah melalui proses panjang, usaha depag di bawah mukri ali melahirkan surat keputusan bersama ( SKB ) menteri agama,menteri kebudayaan dan pendidikan, dan menteri dalam negeri yang lebih dikenal dengan SKB 3 menteri  no.6 tahun 1975 dan no. 037/ U/ 19975.
Dalam SKB 3 menteri tersebut digaris bawahi 3 poin adalah sebagai berikut :
1.                   Agar madrasah, daalm semua jenjang , dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum setingkat.
2.                   Agar lulusan madrasah dapat melanjukan kesekolah umum setingkat dan lebih atas.
3.                   Kurikulum yang diselenggarakan madrasah terdiri dari 70 % pelajaran umum dan 30 % pelajaran agama.[10]
Memang baik jika para pengelola teknis dan administrtif madrasah kita disadari dengan niat ibadah dan keiklasan, namun demikian jangn menghilangkan mutu profesionalisme yang semakin menuntut kopetensi. Dengan semakin pesat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, masyrakat kita makin terpengaruh oleh hasil-hasil iptek yang pada prinsipnya memberikan kenikmatan hidup dalam segala bidang kehuidupan bernegara.[11]
Untuk kedangkalan pengetahuan agama lulusan madrasah, Menteri Agama Munawir Sadzali mencoba menawarkan MAPK ( Madrasah Aliyah Program Khusus). Hal ini dimaksudkan untuk menjawab problem kelangkaan ulama dan/atau kelangkaan umat yang menguasai kitab-kitab berbahasa Arab serta ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan menteri Agama Tarmizi Taher Mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon ” madrasah sebagi sekolah umum yang berciri khas agama Islam”, yang muatan kurikulumnya sama dengan sekolah non-madrasah. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh Menteri Agama berikutnya.bahkan Malik Fajar Memantapkan eksistensi madraasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam penigkatan kualitas madrasah, yaitu (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman; (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah ; (3) bagaimana madrasah mampu merespons tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan ipteks dan era globalisasi.[12]
Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan nasional menjadi salah satu prioritas yang mendapat perhatian serius dari pemerintah RI. Keseriusan itu diwujudkan dengan disahkan dan diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 yang menjadi dasar pijakan yang kuat bagi penyelenggaraan pendidikan nasional.  Salah satu hal yang sangat penting untuk dilihat dari undang-undang tersebut adalah ditetapkannya standar nasional pendidikan yang mencakup antara lain sarana dan prasarana pendidikan sebagai acuan pengembangan pendidikan. Di antara sekian banyak sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang kualitas pendidikan adalah perpusatakaan. Dengan demikian, per-pustakaan adalah salah satu sarana pendidikan yang strategis dan mempe-ngaruhi mutu pendidikan. Lebih jelas tentang pentingnya peranan perpustakaan dalam meningkatkan mutu pendidikan kembali ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa perpustakaan adalah bagian dari sarana dan prasarana yang wajib dimiliki oleh sekolah/madrasah.[13]
C. Merespon Tantangan Globalisasi
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.  [14]
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah.            
Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.            
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. 
Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun  semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.[15]            
Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum. 


DAFTAR PUSTAKA


[1] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau  :Khoirul Umam, Madrasah dan Globalisasi
[2] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau Drs. Z. Arifin Nurdin, SH Gagasan Dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural Di Sekolah Agama Dan Madrasah
[3] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau  :Khoirul Umam, Madrasah dan Globalisasi
[4] ibit
[5] http://seekemal.wordpress.com/eksistensi-madrasah-dalam-system-pendidikan-nasional/ atau  Dra. Hj Zulachah Ahmad Eksistensi Madrasah Dalam System Pendidikan Nasional
[6] http://seekemal.wordpress.com/eksistensi-madrasah-dalam-system-pendidikan-nasional/ atau  Dra. Hj Zulachah Ahmad Eksistensi Madrasah Dalam System Pendidikan Nasional
[7] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau Drs. Z. Arifin Nurdin, SH Gagasan Dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural Di Sekolah Agama Dan Madrasah

[8] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau Drs. Z. Arifin Nurdin, SH Gagasan Dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural Di Sekolah Agama Dan Madrasah
[9] Jajat baharudi, Muslim modern: peta pendidikan Indonesia, ( Jakarta : PT rajaGrafindo persada, 2006 ) hal 65
[10] Ibit 66
[11] Djamaludin, kapita selekta pendidikan islam, hal 25


LOGO SMP-IT ALKHOIRIYYAH GARUT