Sunday, November 29, 2015
Sunday, November 8, 2015
DEFINISI AKSIOLOGI,ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI
BAB I
1.1. LatarBelakang
Cabang-cabang Ilmu filsafat banyak sekali di
antaranya yang ada dalam pembahasan makalah ini adalah, aksiologi,ontologi dan
epistemologi ,
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Pembahasan aksiologi
menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu, Didalam ontologi
banyak sekali yang berpendapat tentang definisi ontologi intu sendiri.
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan linkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dalam pembahasan kali
ini saya akan membahas beberapa point diantaranya adalah
: Pengertian Epistemologi,Metode Induktif,Metode Deduktif, Metode
Positivisme,Metode Kontemplatif, Metode Dialektis
Dan untuk lebih jelasnya penulis telah memaparkan
ini dan penjelasan yang sangat akurat dalam bab yang telah disediakan di bawah
ini.
1.2. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini saya mempunyai
tujuan :
1. Agar
mahasiswa paham tentang definisi-definisi cabang ilmu filsafat dalam makalah
ini
2. Agar
mahasiswa dapat menumbuhkan kebesaran jiwa di dalam etetika,estetika dan ilmu
pengetahuan
3. Agar
mahasiswa dapat mempunyai pegangan hidup dalam berfilsafat
BAB II
2.1. Pengertian
Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah
yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam
lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan
yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai
kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang
ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat;
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan
menimbulkan bencana.
2.2. Penilaian
Dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum
digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas
secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus
pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu
cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak
masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan,
keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang
ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari
pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah
norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu
sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan,
melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah
agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
2.2.1. Kegunaan
Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu
ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu
sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat
mengubah wajah dunia.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat
sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia
atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang
suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka
sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari
teori-teori filsafat ilmu.
2. Filsafat
sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua
teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat
ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani
kehidupan.
3. Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak
masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita
tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila
masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang
digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara
tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah
yang berkembang dalam kehidupan manusia.
2.2.2. Kaitan
Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah
menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus
bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah
dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus
melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat
idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang
ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif .
2.3.Pengertian Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan linkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan
kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya para
filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan
perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap
dijuluki filosof alam.
Metode ernpiris yang tela:n dibuka oleh
Aristoteles mendapat sambutan yang besar pada Zaman Renaisans dengan tokoh
utamanya Francis Bacon (1561-1626). Dua di antara karya-karyanya yang menonjol
adalah The Advancement of Learning dan Novum Organum (organum
baru).
Fisafat Bacon mempunyai peran penting dalam
metode Irrduksi dan sistematis menurut dasar filsafatnya sepenuhnya bersifat
praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui
peyelidikan ilmiah. mam. Karena itu usaha yang ia lakukan pertama kali adalah
menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami
perkembangan, dan tidak akan bermakna kecuali ia mernpunyai kekuatan yang dapat
membantu meraih kehidupan yang lebih baik.
Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas
filsafat tampak paling mencolok dalam Novum Organum. Pengetahuan
dan kuasa manusia satu sama lain, menurutnya alam tidak dapat dikuasai kecuali
dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam. Manusia perlu mengenalnya
terlebih dahuku dan untuk mengetahui alam diperlukan observasi. Pengetahuan,
penjelasan. dan pembuktian.
Umat manusia ingin menguasai alam tetapi
menurut Bacon, keinginan itu tidak tercapai sampai pada zamannya hidup, hal ini
karena ilmu-imu pengetahuan berdaya guna dalam mencapai hasilnya, sementara
logika tidak dapat digunakan untuk mendirikan dan membangun ilmu pengetanuan.
Bahkan, Bacon meganggap logika lebih cocok untuk melestarikan kesalahan dan
kesesatan yang ada ketimbang mengejar menentukan kebenaran.
2.3.1 Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan pernyataan hasil observasi dalam suatu pernyataan yang lebih umum
dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilrnu empiris ditandai
oleh metode induktif, disebut induktif bila bertolak dari pernyataan tunggal
seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada
pernyataan pernyataan universal.
2.3.2 Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpan
bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada bentuk logis teori itu dengan tujuan
apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan
dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan rnenerapkan secara
empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
2.3.3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte.
Metode ini berpangkal dari apa yang diketahui yang faktual yang positif. Dia
menyampingkan segala uraian persoalan di luar yang ada sebagai fakta oleh
karena itu, ia menolak metafisika yang diketahui positif, adalah segala yang
nampak dan segala efode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan diatasi
kepada bidang gejala-gejala saja.
2.3.4 Metode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan
indera dan manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang
dihasilkanpun akan berbeda-beda seharusnya dikembangkan suatu kemampuan akal
yang disebut dengan intuisi.
2.3.5 Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika
mula-mula berarti metode tanya jaujab untuk mencapai kejernihan filsafat.
Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Pidato mengartikannya diskusi logika.
Kini dialekta berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan
metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk
mencapai apa yang terkandung dalam dan metode peraturan, juga analisis
sistematika tentang ide mencapai apa yang terkandung dalam pandangannya.
2.4. PENGERTIAN
ONTOLOGI
Ontologi (dari ὄν Yunani, ὄντος genitive:
"menjadi" (partisip netral dari εἶναι:
"menjadi")dan-λογία,-logia: ilmu, penelitian, teori) adalah studi
filosofis tentang hakikat ini, eksistensi atau kenyataan seperti itu, serta
menjadi kategori dasar dan hubungan mereka.
Tradisional terdaftar sebagai bagian dari
cabang utama filsafat yang dikenal sebagai metafisika, ontologi berkaitan
dengan pertanyaan mengenai apa yang ada entitas atau dapat dikatakan ada, dan
bagaimana badan tersebut dapat dikelompokkan, terkait di dalam hirarki, dan
dibagi menurut persamaan dan perbedaan .
Ikhtisar Ontologi, dalam filsafat analitik,
menyangkut menentukan apakah beberapa kategori yang sangat penting dan bertanya
dalam apa arti item dalam kategori tersebut dapat dikatakan
"menjadi". Ini adalah penyelidikan berada di begitu banyak seperti
sedang, atau menjadi makhluk sejauh mereka ada-dan tidak sejauh, misalnya,
fakta-fakta tertentu yang diperoleh tentang mereka atau properti tertentu yang
berhubungan dengan mereka.
Untuk Aristoteles ada empat dimensi ontologis yang berbeda:
1. menurut
berbagai kategori atau cara menangani yang sedang seperti itu
2. menurut
kebenaran atau kesalahan (misalnya emas palsu, uang palsu)
3. apakah
itu ada dalam dan dari dirinya sendiri atau hanya 'datang bersama'
oleh kecelakaan
4. sesuai
dengan potensinya, gerakan (energi) atau jadi kehadiran (Buku
Metafisika Theta).
Beberapa filsuf, terutama dari sekolah Plato,
berpendapat bahwa semua kata benda (termasuk kata benda abstrak) mengacu kepada
badan ada. filsuf lain berpendapat bahwa kata benda tidak selalu entitas nama,
tetapi beberapa memberikan semacam singkatan untuk referensi untuk koleksi baik
benda atau peristiwa. Dalam pandangan yang terakhir, pikiran, bukannya merujuk
pada suatu entitas, mengacu pada koleksi peristiwa mental yang dialami oleh
seseorang; masyarakat yang mengacu pada kumpulan orang-orang dengan beberapa
karakteristik bersama, dan geometri mengacu pada koleksi dari jenis yang
spesifik intelektual . Aktivitas Di antara kutub realisme dan nominalisme, ada
juga berbagai posisi lain, tetapi ontologi apapun harus memberi penjelasan
tentang kata-kata yang mengacu kepada badan usaha, yang tidak, mengapa, dan apa
kategori hasil. Ketika seseorang berlaku proses ini untuk kata benda seperti
elektron, energi, kontrak, kebahagiaan, ruang, waktu, kebenaran, kausalitas,
dan Tuhan, ontologi menjadi dasar untuk banyak cabang filsafat
Menurut Suriasumantri (1985),
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian
mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan :
a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut, dan
c) bagaimana hubungan antara obyek tadi
dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa, dan mengindera)
yang membuahkan pengetahuan.
Menurut Soetriono & Hanafie (2007)
Ontologi yaitu merupakan azas dalam
menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek
ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat
realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat
merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan
biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Menurut Pandangan The Liang Gie
Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar
yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi
persoalan-persoalan :
· Apakah
artinya ada, hal ada ?
· Apakah
golongan-golongan dari hal yang ada ?
· Apakah
sifat dasar kenyataan dan hal ada ?
· Apakah
cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis
yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan
bilangan) dapat dikatakan ada ?
Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga
diangkat dari Konsepsi Aristoteles
Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being
/ wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim
dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli
(real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip
benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa
didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
1. kuantitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari
hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu
pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan
tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena
akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
sahnya (validitasnya) pengetahuan.
Pengertian paling umum pada ontologi adalah
bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu.
Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup
cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat
beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk
penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada
sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur
hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi
merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir Filsafat Umum, (Bandung, 1990).
Al-Ghazali, Setitik
Cahaya Dalam Kegelapan,
Jujun
S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998
Tim
Dosen Filsafah Ilmu, Filsafat Ilmu (Yogyakarta, 1996)
Tuesday, October 13, 2015
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian
Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat secara harfiah berasal
kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara
istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain
menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta
(loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat
berarti filosof, berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan
sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan
sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno) mengatakan
filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan
pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami
perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert)
filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3
bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di dalamnya etika).
Pendidikan secara harfiah berasal kata didik, yang mendapat
awalan pen akhiran an. berarti perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik.
Kata lain ditemukan peng(ajar)an berarti cara (perbuatan dan sebagainya)
mengajar atau mengejarkan. Kata lain yang serumpun adalah mengajar berarti
memberi pengetahuan atau pelajaran. Kata pendidikan berarti education
(inggris), kata pengajaran berarti teaching (inggris). Pengertian dalam bahasa
Arab kata pendidikan (Tarbiyah) – pengajaran (Ta’lim) yang berasal dari ‘allama
dan rabba. Dalam hal ini kata tarbiyyah lebih luas konotasinya yang berarti
memelihara, membesarkan, medidik sekaligus bermakna mengajar (‘allama).
Terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti
susunan.
Dari segi bahasa Arab kata Islam
dari salima (kemudian menjadi aslama), kata Islam berasal dari isim masdar
(infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri
dalam keadaan selamat. Yakni dengan sikap seseorang untuk taat, patuh, tunduk
dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT;
sebagaimana seseorang bias disebut Muslim. Selanjutnya Allah SWT memakai kata
Islam sebagai nama salah satu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan-Nya kepada
manusia melalui Muhammad SAW (sebagai
Rasul-Nya). Sebagai agama Islam diakui memiliki ajaran yang komprehensif (al-Qur’an) dibandingkan dengan agama-agama
lain yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.
Setelah dijelaskan satu persatu yang tersebut di atas, diyakini
belum dijelaskan secara lebih khusus mengenai apa itu filsafat pendidikan
Islam?
Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat
pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep
berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan pada
ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina
dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia (Muslim) yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya menyangkut
subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya.
Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal
menurut Ahmad D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat
pendidikan tanpa batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan
berarti tanpa batas, tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan
bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi
sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah meyakini isi
keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat
dipergunakan.
Dari uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat
pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai
masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an
dan al-Hadits sebagai sumber primer, serta pendapat para ahli (khususnya para
filosof Muslim) sebagai sumber skunder.
B. Ruang
Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan bahwa
filsafat pendidikan Islam adalah sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat
Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini menyatakan bahwa mempelajari
filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang serba mendasar,
sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang
tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga
berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut
mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan
seterusnya.
C. Kegunaan
Filsafat Pendidikan Islam
Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan, menurut Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari
filsafat pendidikan Islam, antaralain:
(1) Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang
pendidikan dan yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk
pemikiran sehat terhadap proses pendidikan;
(2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh; dan,
(3) Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di negara kita.
(2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh; dan,
(3) Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di negara kita.
Selain kegunaan yang tersebut di atas filsafat pendidikan Islam
juga sebagai proses kritik-kritik tentang metode –metode yang digunakan dalam
proses pendidikan Islam, sekaligus memberikan arahan mendasar tentang bagaimana
metode tersebut harus didayagunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai
tujuan. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan
Islam harus bertugas dalam 3 dimensi, yakni:
(1) Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses
pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam;
(2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut; dan,
(3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
(2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut; dan,
(3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
D. Metode
Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Prihal yang menyangkut metode
pengembangan filsafat pendidikan Islam yang berhubungan erat dengan akselerasi
penunjuk operasional dan teknis mengembangkan ilmu, yang semestinya didukung
dengan penguasaan metode baik secara teoritis maupun praktis untuk tampil
sebagai mujtahid atau pemikir dan keilmuan. Asumsi yang terbangun bahwasannya
karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani (Falsafah Pendidikan Islam) yang tidak
membahas metode tersebut. Apalagi mencukupkan sumber analisa hanya pada Plato
dan Aritoteles-isme, padahal sefaham dengan para filosof Muslim (al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan yang sealiran
dengannya). Kuat kemungkinannya ia terperangkap oleh missi dan strategi Barat
yang mensupremasi dalam segala bidang.
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam paling
tidak bersumber pada 4 hal, yakni:
(1) Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
(2) Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan serta bahan teoritis lapangan;
(3) Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
(4) Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
(1) Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
(2) Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan serta bahan teoritis lapangan;
(3) Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
(4) Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
Adapun yang dikembangkan dan dikaji masalah filsafat pendidikan
Islam, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga
disiplin ilmu tersebut, yaitu: filsafat, ilmu pendidikan dan ilmu ke islam an.
sebagaimana uraian terdahulu, yakni sebuah kajian tentang pendidikan yang
radikal, logis, sistematis dan universal. Namun cirri-ciri dari berfikir
filosofis ini dibatasi dengan ketentuan ajaran Islam.
Sunday, October 11, 2015
SEJARAH MADRASAH DI INDONESIA
PEMBAHARUAN
MADRASAH DI INDONESIA
Madrasah sebagai institusi pendidikan kegamaan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.
Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.
Menurut keterangan Maksum (1999) madrasah di Indonesia masih bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau. Menarik untuk dicatat bahwa diukur dari ketentuan-ketentuan fisik pada abad 11-12 M struktur pesantren di Indonesia agaknya menyerupai madrasah di Baghdad abad 11-12 M. dalam madrasah abad pertengahan, syekh atau professor ditempatkan sebagai pemegang otoritas, sedangkan fungsi sama dipegang oleh figur Kyai, yang tidak hanya berfungsi sebagai guru tetapi juga sebagai pemimpin.
Dalam ketidakjelasan hubungan madrasah abad 11-12 di Timur Tengah dengan pesantren di Indonesia tersebut, sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia agaknya tetap dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri dan ini dikembalikan pada situasi awal abad 20. Hal ini mengasumsikan bahwa madrasah di Indonesia bukanlah madrasah dalam tradisi pendidikan Islam abad 11-12 seperti di Timur Tengah; namun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah masa modern.
Macam-macam Jenis Madrasah
o Berdasarkan Tingkat Jenjang Pendidikannya
Terbagi menjadi tiga tingkat yaitu pertama Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar. Kedua, Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI. Dan yang ketiga Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Madrasah sebagai institusi pendidikan kegamaan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.
Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.
Menurut keterangan Maksum (1999) madrasah di Indonesia masih bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau. Menarik untuk dicatat bahwa diukur dari ketentuan-ketentuan fisik pada abad 11-12 M struktur pesantren di Indonesia agaknya menyerupai madrasah di Baghdad abad 11-12 M. dalam madrasah abad pertengahan, syekh atau professor ditempatkan sebagai pemegang otoritas, sedangkan fungsi sama dipegang oleh figur Kyai, yang tidak hanya berfungsi sebagai guru tetapi juga sebagai pemimpin.
Dalam ketidakjelasan hubungan madrasah abad 11-12 di Timur Tengah dengan pesantren di Indonesia tersebut, sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia agaknya tetap dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri dan ini dikembalikan pada situasi awal abad 20. Hal ini mengasumsikan bahwa madrasah di Indonesia bukanlah madrasah dalam tradisi pendidikan Islam abad 11-12 seperti di Timur Tengah; namun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah masa modern.
Macam-macam Jenis Madrasah
o Berdasarkan Tingkat Jenjang Pendidikannya
Terbagi menjadi tiga tingkat yaitu pertama Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar. Kedua, Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI. Dan yang ketiga Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH
Pendidikan
Islam Pada Madrasah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak bisa
dipungkiri bahwa gelombang moderenisasi dan globalisasi budaya telah
meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas social
ekonomi pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi
keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen
dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif
peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras,etnik, jender,
kelas, dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup.
Konsep ini
setidaknya bertumpuh pada dua keyakinan. Pertama,secara sosial
semua kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama
dengan orang lain. Kedua, diskriminasi
dan resisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan
pengetahuan budaya-budaya lain, Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme
perlu dikukuhkan dalam segala pendidikan.
Sejujurnya,
konsep pendidikan yang pernah diterapkan di negara ini masih jauh dari harapan.
Keberadaan sistem seperti Madrasah sendiri sudah cukup lama. Sayangnya, sebaik
apapun sistem itu tetap saja tidak mampu 'menularkan'. Singkat saja, sistem
pendidikan seharusnya mengarahkan anak didiknya untuk bisa berpikir dewasa,
tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk lingkungan, keluarga,
masyarakat, dan Insya Allah untuk bangsa ini. Dewasa yang dimaksudkan di sini,
bukan sekedar bisa membedakan mana yang salah atau benar, tapi juga bisa mendahulukan
mana yang menjadi kepentingan banyak orang dan kepentingan kelompok/pribadi.
Saya akui, tidak mudah untuk mencapai harapan tersebut.
Secara operasional,
pembinaan bangsa dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Pendidikan sangat
diperlukan guna memberikan prespektif, interpretasi dan warna lokal atas
jalannya sejarah bangsa ini. Dengan memberikan identitas sejarah kepada
penduduk lokal, masyarakat merasa mendapat tempat dalam proses kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Madrasah
(Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) sebagai salah satu unsur pendidikan
nasional mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mencapai tujuan
pendidikan nasional terutama dalam mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Peranan yang penting itu seirama dengan derap langkah pembangunan.Hal ini
menjadi lebih penting lagi mengingat tugas madrasah adalah mempersiapkan sumber
daya manusia yang tangguh guna memasuki era otonomi daerah dan otonomi pendidikan.
Peningkatan
kualitas merupakan salah satu prasyarat agar kita dapat memasuki era
globlalisasi yang penuh dengan persaingan. Keberadaan madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam tidak akan lepas dari persaingan global tersebut. Untuk itu
peningakat kualitas merupakan agenda utama dalam meningkatkan mutu madrasah
agar dapat survive dalam era global.
Sekaitan
dengan perlunya menggagas sekolah agama dan madrasah yang berwawasan
multikultural maka tulisan ini akan mencoba mengkaji sebagaimana yang di amanahkan
oleh panitia yakni dengan terlebih dahulu mengantarkan kebijakan Departemen
Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah, peran dan
fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah
agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme yang telah
menghangat dengan segala konsekuensi dan idiologi yang di usungnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
beberapa masalah yang dihadapi antara lain adalah sebagai berikut ;
1.
Bagaimana
Madrasah dan pendidikan agama Islam mengaktualisasikan peserta didik dalam
kehidupan bermasyarakat?
2.
Bagaimana
kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan
madrasah?
3.
Apa peran dan
fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah
agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme?
C. TUJUAN
Adapun
tujuan pembutan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui Madrasah dan pendidikan agama Islam mengaktualisasikan peserta didik
dalam kehidupan bermasyarakat
2.
Untuk
mengetahui kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di
sekolah dan madrasah
3.
Untuk
mengetahui peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana
seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan
multikulturalisme
4.
untuk memenuhi
tugas mata kuliah selekta pendidikan yang diberikan kepada kami
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan
Islam Pada Madrasah
Adapun visi
dari madrasah dan pendidikan agama Islam adalah terwujudnya manusia yang
bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu, terampil dan mampu
mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya adalah
menciptakan lembaga yang islami dan berkwalitas, menjabarkan kurikulum yang
mampu memahami kebutuhan anak didik dan masyarakat, menyediakan tenaga
kependidikan yang profesional dan memiliki kompotensi dalam bidangnya dan
menyelenggarakan proses pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang
berprestasi.
Berkaitan dengan perlunya menggagas sekolah agama dan madrasah yang berwawasan multikultural maka kami akan mencoba mengkaji sebagaimana yang di amanahkan oleh pemerintah yakni dengan terlebih dahulu mengantarkan kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah, peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme yang telah menghangat dengan segala konsekuensi dan idiologi yang di usungnya.
Berkaitan dengan perlunya menggagas sekolah agama dan madrasah yang berwawasan multikultural maka kami akan mencoba mengkaji sebagaimana yang di amanahkan oleh pemerintah yakni dengan terlebih dahulu mengantarkan kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah, peran dan fungsi Departemen Agama dalam pendididkan dan bagaimana seharusnya sekolah agama dan madrasah melihat dan menyikapi desakan multikulturalisme yang telah menghangat dengan segala konsekuensi dan idiologi yang di usungnya.
A. kebijakan
Departemen Agama dalam mengembangkan Pendidikan Agama di madrasah
Madrasah
adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain
pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa
yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu
kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu
agama (Arief Subhan; 2005). Madrasah juga merupakan bagian penting dari lembaga
pendidikan nasional di Indonesia. Perannya begitu besar dalam menghasilkan
output-output generasi penerus bangsa. Perjuangan madrasah untuk mendapatkan
pengakuan ini tidak didapatkan dengan mudah. Karena sebelumnya eksistensi
lembaga ini kurang diperhatikan bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum
yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—sekarang
Departemen Pendidikan Nasional—.Yang ada justru sebaliknya, madrasah seolah
hanya menjadi pelengkap keberadaan lembaga pendidikan nasional.[1]
Sebelum di
jelaskan hal-hal apa saja yang di lakukan oleh Depag dalam memajukan sekolah
agama dan madrasah kiranya perlu di jelaskan posisi pendidikan Agama dan
madrasah dalam system pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui bahwa
pendidikan Islam telah lama eksis di bumi nusantara ini sejak masuknya Islam di
Indonesia. Pendidikan Islam baik sebagai lembaga, sebagai mata pelajaran dan
sebagai nilai cukup berperan dalam mencerdaskan bangsa.
Pendidikan
Islam sebagai lembaga di akuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara
ekplisit. Sebagai mata pelajaran di akuinya pendidikan agama sebagai salah satu
mata pelajaran yang wajib di berikan pada tingkat dasar sampai pada perguruan
tinggi. Lalu berikutnya Pendidikan Islam sebagai nilai, yakni ditemukannya
nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional.
Untuk melihat
eksistensi pendidikan Islam dalam ketiga kategori itu dalam UU No. 20 tahun
2003 baik sebagai lembaga, sebagai mata pelajaran dan sebagai nilai dapat
dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut :[2]
Pendidikan
Islam sebagai Lembaga baik MI, MTs, MA atau MAK atau Perguruan Tinggi diatur
dalam pasal 17 dan Pendidikan keagamaannya diatur dalam pasal
30. Pendidkan Islam sebagai mata pelajaran dapat dilihat dalam pasal 36
ayat
Adapun
pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai
kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk , demokratis, egalitarian,
dan humanis.
Berangkat dari
kondisi diatas akan jelas sekali bahwa eksistensi Pendidikan Agama Islam di
madrasah sangat jelas dan dapat dirasakan. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan dan memperdayaan dan sekaligus pengembangan Pendidikan Islam
secara terus menerus. Diantara kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Agama
dalam pembinaan Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (Mapenda) dapat
dilihat sebagai berikut :
1.
Pemerataan
pendidikan, diarahkan untuk menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun (Wajar 9
tahun).
2.
Peningkatan
Mutu Pendidikan diseluruh jenjang pendidikan, baik ditingkat MI maupun MTs dan
sertapeningkatan kualitas Pendidikan Agama Islam disekolah Umum.
3.
Efektifitas
dan efisiensi artinya penyelenggaraan pendidikan benar-benar dapat mencapai
tujuan pendidikan yang maksimal dengan memanfaatkan biaya yang minimal.[3]
Adapun dalam
bentuk pengembangan dan pemberdayaannya adalah dengan terus melakukan pembinaan
dan pelatihan kepada pendidik. Dalam kacamata Departemen Agama setidaknya ada
empat kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik. Pertama ,
kompetensi keilmuan, Kedua, kompetensi
keterampilan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik. Ketiga, kompetensi
manjerial dan keempat adalah
kompetensi moral akademik dimana ia mesti menjadi contoh panutan bagi anak
didik dan masyarakat. [4]
Jika
pengembangan dan pemberdayaan dilakukan sesuai dengan perencanaan sistem
pendidikan dan menggunakan pendekatan system maka, akan mendapatkan
manfaat-manfaat sebagai berikut:[5]
1.
Menyeimbangkan
ketidaktentuan
2.
Meningkatkan
penghematan operasi-operasi
3.
Memusatkan
diri dari tujuan
4.
Menyediakan
fasilitas bagi control.
Selain dari
masalah pendidik juga dilakukan pemberdayaan sarana dan fasilitas, pengkajian
kurikulum yang selama ini dianggap masalah yang tak pernah kunjung selesai.
Selain itu, pembinaan bersifat struktural dan kultural. Tampaknya secara
kultural Depag masih mengalami kendala yang sangat serius dimana umat Islam dan
masyarakat luas belum memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada sekolah di
lingkungan Depag dengan asumsi bahwa pendidikan di lingkungan agama kurang
berbobot. Tantangan ini memang cukup menarik, tapi dengan semangat yang tidak
kunjung menyerah Depag terus melakukan upaya-upaya dan terobosan terus-menerus.[6]
B. Peran dan Fungsi Departemen Agama
Dalam hal
pembinaan, pengawasan dan pengembangan pendidikan agama di sekolah dan madrasah
tidak lepas dari peraturan dan perundang-undangan yang ada. Selain UU No. 20
tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka Depag berpedoman kepada KMA
No. 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen
Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota yakni pada pasal 2
dijelaskan tugas pokok dan fungsinya sebagai beerikut : “ Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi
Departemen Agama dalam wilayah Propinsi berdasarkan kebijakan Menteri Agama dan
peraturan perundang-undangan.”[7]
Adapun tugas
dan fungsi bidang yang mengurusi pendidikan adalah Mapenda sebagaimana di sebut
dalam pasal 31 yang menjelaskan sebagai berikut : “Bidang Madrasah dan
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan
dan bimbingan di Bidang penyelenggaraan pendidikan pada madrasah dan pendidikan
agama Islam pada sekolah umum dan serta sekolah luar biasa”.
Pada pasal 32
menjelaskan fungsi Bidang Mapenda, pada pasal 33 seksi-seksi yang terdapat
dalam Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada sekolah Umum. Pada pasal
34 penjelasan tugas dari seksi-seksi sebagaimana dimaksud pada pasal 33 diatas.
Pada pasal 35 Tugas Pekapontren dan Penamas. Pada pasal 36 penjelasan tugas
dari Pekapontren dan Penamas tersebut. Selanjutnya pada pasal 37-50 tentang
pembagian seksi dan tugas dari bidang Pekapontren dan Penamas.[8]
Sejalan dengan
modernisasi ekonomi dan politik orde baru ( ali dan effendi 1986 ) depag
kemudian melamsirkan sejumlah langkah-langkah dalam modernisasi pendidikan
islam. Dan madrasah kemudian menjadi sasaran utama kebijakan pendidikan depag,
sehingga ia mengalami suatu proses pergeseran. Madrasah terus berkembang
menjadi sekolah islam dibawah naungan depag.[9]
Proses ini bermula
ketika depag yang saat itu dipimpin oleh Mukti Ali ( 1923-2004 ) berusaha lebih
inisiatif menjadikan madrasah bagian dari pendidikan nasional. Setelah melalui
proses panjang, usaha depag di bawah mukri ali melahirkan surat keputusan
bersama ( SKB ) menteri agama,menteri kebudayaan dan pendidikan, dan menteri
dalam negeri yang lebih dikenal dengan SKB 3 menteri no.6 tahun 1975
dan no. 037/ U/ 19975.
Dalam SKB 3
menteri tersebut digaris bawahi 3 poin adalah sebagai berikut :
1.
Agar madrasah,
daalm semua jenjang , dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah
umum setingkat.
2.
Agar lulusan
madrasah dapat melanjukan kesekolah umum setingkat dan lebih atas.
3.
Kurikulum yang
diselenggarakan madrasah terdiri dari 70 % pelajaran umum dan 30 % pelajaran
agama.[10]
Memang baik
jika para pengelola teknis dan administrtif madrasah kita disadari dengan niat
ibadah dan keiklasan, namun demikian jangn menghilangkan mutu profesionalisme
yang semakin menuntut kopetensi. Dengan semakin pesat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi saat ini, masyrakat kita makin terpengaruh oleh hasil-hasil iptek
yang pada prinsipnya memberikan kenikmatan hidup dalam segala bidang kehuidupan
bernegara.[11]
Untuk
kedangkalan pengetahuan agama lulusan madrasah, Menteri Agama Munawir Sadzali
mencoba menawarkan MAPK ( Madrasah Aliyah Program Khusus). Hal ini dimaksudkan
untuk menjawab problem kelangkaan ulama dan/atau kelangkaan umat yang menguasai
kitab-kitab berbahasa Arab serta ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan menteri Agama
Tarmizi Taher Mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon ” madrasah sebagi
sekolah umum yang berciri khas agama Islam”, yang muatan kurikulumnya sama
dengan sekolah non-madrasah. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh Menteri Agama
berikutnya.bahkan Malik Fajar Memantapkan eksistensi madraasah untuk memenuhi
tiga tuntutan minimal dalam penigkatan kualitas madrasah, yaitu (1) bagaimana
menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup
keislaman; (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat
dengan sistem sekolah ; (3) bagaimana madrasah mampu merespons tuntutan masa
depan guna mengantisipasi perkembangan ipteks dan era globalisasi.[12]
Peningkatan
kualitas dan mutu pendidikan nasional menjadi salah satu prioritas yang
mendapat perhatian serius dari pemerintah RI. Keseriusan itu diwujudkan dengan
disahkan dan diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20
Tahun 2003 yang menjadi dasar pijakan yang kuat bagi penyelenggaraan pendidikan
nasional. Salah satu hal yang sangat penting untuk dilihat dari
undang-undang tersebut adalah ditetapkannya standar nasional pendidikan yang
mencakup antara lain sarana dan prasarana pendidikan sebagai acuan pengembangan
pendidikan. Di antara sekian banyak sarana dan prasarana pendidikan yang
menunjang kualitas pendidikan adalah perpusatakaan. Dengan demikian,
per-pustakaan adalah salah satu sarana pendidikan yang strategis dan
mempe-ngaruhi mutu pendidikan. Lebih jelas tentang pentingnya peranan
perpustakaan dalam meningkatkan mutu pendidikan kembali ditegaskan dalam
Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
menyatakan bahwa perpustakaan adalah bagian dari sarana dan prasarana yang
wajib dimiliki oleh sekolah/madrasah.[13]
C. Merespon
Tantangan Globalisasi
Sebelum
mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi
kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi
sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan
yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim
pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang
sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi
madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut
sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar
harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan
Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya. [14]
Kemampuan
bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak
diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu
kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari
itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah
seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada
tingkat Madrasah
Aliyah.
Di samping
itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan
Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya
dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain
kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh
madrasah.
Akan tetapi,
justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah
kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam
pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan.
Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau
kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari,
menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan
olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa
lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan,
ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih
tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang
sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam
upaya mencari pekerjaan.
Jadi, kiranya
penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut.
Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah
lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus
dilakukan secara profesional.[15]
Dengan adanya
pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan
madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin
kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena
ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah
kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau :Khoirul
Umam, Madrasah dan Globalisasi
[2] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau Drs.
Z. Arifin Nurdin, SH Gagasan Dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural Di Sekolah Agama Dan Madrasah
[3] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau :Khoirul
Umam, Madrasah dan Globalisasi
[5] http://seekemal.wordpress.com/eksistensi-madrasah-dalam-system-pendidikan-nasional/ atau Dra.
Hj Zulachah Ahmad Eksistensi Madrasah Dalam System Pendidikan Nasional
[6] http://seekemal.wordpress.com/eksistensi-madrasah-dalam-system-pendidikan-nasional/ atau Dra.
Hj Zulachah Ahmad Eksistensi Madrasah Dalam System Pendidikan Nasional
[7] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau Drs.
Z. Arifin Nurdin, SH Gagasan Dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural Di Sekolah Agama Dan Madrasah
[8] http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100026 atau Drs.
Z. Arifin Nurdin, SH Gagasan Dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural Di Sekolah Agama Dan Madrasah
[9] Jajat baharudi, Muslim modern:
peta pendidikan Indonesia, ( Jakarta : PT rajaGrafindo persada, 2006 ) hal
65
[12] http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/sejarah-perkembangan-kurikulum-bahasa-arab-di-madrasah-sekolah
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, FILSAFAT PENDIDIKAN , AGAMA DAN KEBUDAYAAN Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Terstruk...
-
KOMUNIKASI PEMBELAJARAN MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata kuliah Media dan Teknologi Pembelajaran ...
-
PENGERTIAN, PERAN DAN FUNGSI GURU DAN GURU PROFESIONAL BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guru memang me...