Friday, October 11, 2019

BERMAZHAB DALAM FIKIH


MAKALAH
BERMAZHAB DALAM FIKIH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur
Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Fikih
Dosen : Ceceng Salamudin, M.Ag.

Description: C:\Users\PC\Downloads\STAI-Al-Musaddadiyah-Garut.jpeg


Disusun Oleh : Kelompok 3
1.      Rizki Nurul Huda Hoeriah                         : 14210017
2.      Zaki                                                 : 14210092


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MUSADDADIYAH
GARUT
2017


Dengan menyebut Nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “BERMAZHAB DALAM FIKIH”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami  menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kamidapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang bermazhab dalam fikih ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.


Garut, Oktober 2017


Kelompok 3






BAB I

PENDAHULUAN


Islam merupakan agama yang ramat bagi seluruh alam. Hukum-hukum Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum Islam, sehingga banyak ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu. Akhirnya, hukum Islam ini terbagi dalam beberapa mazhab, yang kita kenal sekarang.
Fiqh adalah hukum-hukum syar’iyah amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, berupa ibadah dan muamalah. Maksud dari sumber-sumber fiqh disini adalah dalil-dalil yang menjadi sandaran dan pijakkan dimana fiqh menimba darinya. Sebagian ulama menyebutnya dengan sumber-sumber syari’at islam. Apapun nama yang diberikan, sumber-sumber fiqh seluruhnya kembali kepada al-Qur’an ataupun sunnah.
Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang menjadi tujuan seseorang. Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama Islam, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman yang jelas untuk kehidupan umat.
Para mujtahid lahir pada periode ke-4 yang memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan dalam kemajuan fiqh. Mereka telah mendirikan madrasah-madrasah fiqh yang panjinya menaungi banyak fuqoha’ besar, dan memiliki banyak pengikut. Madrasah fiqh itu disebut dengan mazhab islam dan diiringi dengan nama pendirinya. Meskipun banyak jumlahnya, ia tidak memecah belah islam dan tidak memunculkan syari’at yang baru, melainkan hanya sebuah metode memahami syari’at, menafsirkan nash-nashnya, dan cara-cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumbernya. Namun dari sekian banyak mazhab yang ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan masih terus dijadikan panduan hingga saat ini. Mazhab yang digunakan saat ini terbagi atas dua kelompok besar, yaitu mazhab golongan Sunni (Ahlus-sunnah wal Jama’ah) dan mazhab golongan Syi’ah.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, kami tertarik untuk mengedepankan tema tentang “BERMAZHAB DALAM FIKIH

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas maka penyusun merumuskan suatu rumusan masalah yang diantaranya sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2.      Bagaimana sejarah terbentuknya mazhab fikih?
3.      Bagaimana lokalitas dan subjektivitas mazhab?
4.      Mengapa bermazhab?
5.      Bagaimana batasan dalam bermazhab?

Adapun tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian Mazhab.
2.      Untuk mengetahui sejarah terbentuknya mazhab fikih.
3.      Untuk mengetahui lokalitas dan subjektivitas mazhab.
4.      Untuk mengetahui alasan bermazhab.
5.      Untuk mengetahui batasan dalam bermazhab.

Berdasarkan pembahasan mengenai bermazhab dalam fikih, maka manfaat penulisan dapat ditinjau dari dua sisi, antara lain:
1.      Manfaat Teoritis
Hasil diskusi dalam makalah ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan mengenai bermazhab dalamk fikih. Serta dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


2.      Manfaat Praktis
Hasil diskusi ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi acuan bagi penyusunan program pemecahan masalah mengenai bermazhab dalam fikih. Serta dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada penyusunan makalah ini kami awali dengan BAB I yaitu PENDAHULUAN yang di dalamnya berisi: A. Latar Belakang Masalah; B. Rumusan Masalah; C. Tujuan Pembahasan; D. Manfaat Penulisan dan E. Sistematika Penulisan Makalah;  BAB II KAJIAN TEORITIK, yang berisi: A. Pengertian Mazhab; B. Sejarah Terbentuknya Mazhab Fikih; C. Lokalitas dan Subjektivitas Mazhab; D. Alasan Bermazhab; E. Batasan dalam Bermazhab; BAB III PENUTUP yang berisi: A. Kesimpulan; B. Saran; serta adanya DAFTAR PUSTAKA.


BAB II

KAJIAN TEORETIS


Madzhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba  yang artinya ‘pergi’. Jadi, pengertian madzhab secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan secara terminologis pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah atau mengstinbatan hukum Islam.
Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibagun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Mazhab menurut ulama Fikih , adalah sebuah metodologi fikih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fikih mujtahud, yang berbeda dengan ahli fikih lain, yang mengantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu Furu’.
Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran dan hadits.
Menurut K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam  istilah islam berarti pendapat, paham atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.
Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu :
a.       Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum atau peristiwa berdasarkan Al-quran dan Hadis.
b.      Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan Hadis.
Jadi mazhab adalah poko kpikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid tertentuatau mengikuti pendapat Imam Mujtahid  tentang masalah   hukum Islam.
Selanjutnya Imam Madzhab dan madzab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompokm umat Islam yang mengikuti cara istinhbat Imam Mutjahid tertentu atau megikuti pendapat Imam Mutjahid tentang masalah hukum Islam.
Itulah penjelasan mengenai pengertian mazhab yang pada intinya memiliki makna yang sama. Lahirnya mazhab ini tidak bisa terlepas dari perkembangan hukum-hukum islam sebelumnya yaitu pada masa Rasulullah dan sahabat. Bila pada masa Nabi sumber fiqih adalah Al-Quran, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan Ijtihad sebagai sumber penerapan fiqih. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqih dengan menggunakan Sunnah dan Ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Yang kemudian kita mengenal mazhab-mazhab fiqih. Mazhab dalam fiqih ada beberapa macam, hal ini dikarenalan adanya perbedaan pendapat dalam berijtihad seorang ulama.

Manusia diberikan daya pikir, daya cipta, nalar dan daya mempergunakan ijtihad. Maka sesuai dengan tabiat dan naluri manusia itu sendiri, timbullah berbagai macam pendapat dalam menhadapai suatu masalah. Hal ini tidak mungkin dihilangkan atau dihindari karena naluri manusia menghendaki yang demikian. Itulah yang melatar belakangi lahirnya mazhab-mazhab dalam dunia Islam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa mazhab adalah hasil Ijtihad seorang Mujtahid, yang mana dari para Mujtahid itu terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menetapkan sebuah hukum yang belum ada nashnya dalam Al-Quran dan Hadis.
Mengutip dari buku Fiqh 4 Madzhab : Fiqh dan Ushul Fiqh yang ditulis oleh Dr. H. Opik Taupik K, M.Ag dan Ali Khosim Al-Mansyur, M.Ag, madzhab-madzhab fiqh lahir pada masa peradaban Daulah Abbasiyah yang merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah “The Golden Age”. Pada masa ini umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu penetahuan.
Banni Abbas mewarisi imperium besar Bani umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa madzhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadikan landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili madzhab-madzhab ahli hadits dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya madzhab-madzhab fiqh, dan madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran madzhab-madzhab hukum dan dua abad kemudian madzhab-madzhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakuan istinbat hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madzhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Madzhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash Al-Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan tanpa ia sadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau madzhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madzhab dalam melakukan istinbath hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologiyang sistematis dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut ushul fiqh.
Sampai saat ini Fiqh ihktilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi anatara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan madzhab dan yang melarangnya.
Perbedaan pendapat dikalangan umat ini, sampai kapanpun dan di mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing madzhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan Al-Quran dan al-Sunnah.
Sejak kira-kira pertengahan abad pertama hijriyah sampai awal abad ke empat, tidak kurang dari 19 aliran hukum sudah tumbuh dalam Islam. Kenyataan ini saja cukuplah menunjukkan betapa ahli-ahli hukum kita dahulu tak putus-putusnya bekerja untuk disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus tumbuh.
Pada masa Tabi’-tabi’in yang dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, kedudukan Ijtihad sebagai Istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam. Adapun faktor yang menentukan perkembangan hukum Islam sesudah Rasulullah wafat, yaitu:
1.      Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah semenanjung Arab, Irak, mesir, Syam, Persi dan lain-lain.
2.      Pergaulan kamu muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya. Mereka terpengaruh oleh budaya, adat istiadat serta tradis bangsa tersebut.
3.      Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukan itu dengan ibu kota Khalifah (pemerintahan) Islam, membuat gubernur, para hakim dan para ulama harus melakukanijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab itu tidak sama. Ada yang mendapatkan sambutan dan memiliki pengikut yang mengembangkan dan meneruskannya, namun adakalanya suatu mazhab kalah pengaruhnya oleh mazhab-mazhab yang lain, dan pengikutnya menjadi surut. Oleh karenaya ada mazhab-mazhab yang masih eksis dan dianut oleh umat muslim sampai saat ini diantaranya : mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi.i, mazhab Hanbali, mazhab Syi’ah, dan mazhab Dhahiri. Adapun mazhabyang telah punah antara lain: mazhab Al-Auza’iy, mazhab Al-Zhahiry, mazhab al-Thabary, dan mazhab al-Laits.

Ditinjau dari aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam tiga kelompok,yaitu Mazhab Ahlussunnah, Mazhab Syi’ah, dan Mazhab Khawarij. Dalam perkembangannya, ketiga kelompok mazhab tersebut tidak semuanya dianut dan bertahan lama, bergantung pada faktor kekuatan dan kekuasaan yang memberikan pengaruh terhadap maju dan mundurnya mazhab. Akan tetapi, mazhab tersebut berlaku sampai sekarang
Mazhab Ahlussunnah. Mazhab ini terdiri atas 4 mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Mazhab Hanafi dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama pada zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Fikih Hanafi membekas kepada ahli Kufah negeri Imam Abu Hanifah dilahirkan yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan, dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk ( tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat Islam.
Mazhab Maliki. Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadis dan fikih terkemuka serta tokoh ahlulhadis. Pemikiran fikih dan ushul fikih Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya Al-Muwatha’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan baru selesai pada zaman khalifah Al-Ma’mun. Prinsip dasar mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam Al-Muwatha’.
Mazhab Syafi’i. Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Asy-Syafi’i. Imam Syafi’ adalah tokoh yang mengetahui pemikiran ahlurra’yi dan ahlulhadis dan mencoba dipadukan kedua pemikiran tersebut. Prinsip dasar mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab ushul fikih Ar-Risalah. Dalam buku ini Asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyah (yang bersifat cabang). Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab ushul fikihnya Ar-Risalah dan kitab fikihnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Imam syafi’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya.
Mazhab Hanbali. Pemikiran mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hambal. Ia terkenal sebagai ulama fikih dan hadis terkemuka pada zamannya dan pernah belajar fikih ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Asy-Syafi’i. Para pengembang mazhab Hanbali adalah generasi awal ( sesudah Imam Ahmad bin Hanbal).
Mazhab syi’ah Ja’fari. Mazhab ini dinisbatkan kepada Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq. Dasar pemikiran fikih Syi’ah Ja’fari dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir Ad-Darajat fi ‘ulum’Ali Muhammad wa ma Khassabun Allah bihi. Mazhab ini disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’kub bin Ishaq Al-Kaulani (w. 328H). Mazhab ini merupakan mazhab resmi negara Iran sampai sekarang.

1.      Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebutan imam Hanafi. Bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al-Kufi, lahir di Irak (Kuffah) pada tahun 80 Hijriah (699 M). Ia hidup pada dua masa: masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa Bani Abbasiyah, Khalifah Al-Manshur. Digelari Abu Hanifah (suci, lurus) karena kesungguhannya dalamk beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan dosa dan keji.
Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum ia dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kuffah. Ia dinamai An-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang Raja Persia yang bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan. Pada masa Abu Hanifah dilahirkan, pemerintah islam (di Kufah) berada di tangan kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (khalifah Bani Umayyah yang ke V). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiyah.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya, Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Kendati anak saudagar kaya, ia sangat menjauhi hidup yang bermewah-mewahan. Begitupun setelah menjadi seorang pedagang yang sukses. Hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri, misalnya memberi kebutuhan makan dan menguatkan pasukan Imam Zaid ketika memberontak khalifah Bani Umayyah.
Perhatian Abu Hanifah yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan dirinya menjadi seorang imam yang besar dan terkenal pada saat itu (sampai sekarang, penulis), dan ketenarannya itu didengar oleh Yazid ibn Umar ibn Hubairah seorang Gubernur Irak sehingga Yazid meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadhi. Akan tetapi, Abu Hanifah menolak. Karena menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah ditangkap, dipenjarakan, dan dicambuk. Atas pertolongan juru cambuk, Abu Hanifah berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal di sana selama 6 tahun (130-136 H). Setelah Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan Abbasiyah dengan rasa gembira. Sikap polotik Abu Hanifah berpihak pada keluarga Ali (Ahl Al-Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas, baik oleh Dinasti Umayyah ataupun Bni Abbasiyah.
Penguasaan terhadap berbagai ilmu seperti ilmu fikih, ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab dan ilmu hikmah, telah mengantarkannya sebagai ahli fikih dan keahliannya itu diakui oleh para ulama pada zamannya, seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakan Abu Hanifah untuk memberikan fatwa dan pelajaran fikih kepada murid-muridnya. Keahlian tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i bahwa “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fikih”. Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum Islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fikih untuk bermusyawarah tentang hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Predikat Al-Imam al-‘Azham (imam yang terbesar). Diberikan oleh muridnya dan para pengikutnya kepada Abu Hanifah, meskipun ia sendiri bersikukuh menolaknya. Berbagai hadiah, wanita, jabatan ditawarkan kepada Abu Hanifah, tetap saja ia menolak. Disiksa, dipukul, dipenjara adalah konsekuensi yang harus diterima oleh Abu Hanifah karena menolak semua itu. Abu Hanifah meninggal dunia tahun 150 H dengan diantar oleh lima puluh ribu penduduk Irak.

2.      Mazhab Maliki
Imam Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn Kutail ibn Amr ibn Haris Al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93-179 H/712-796 M. Nama Al-Asbahi, nisbah pada Ashbah, salah satu kabilah di Yamantempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersamanya, kecuali perang Badar. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya Islam maupun sesudahnya. Tanah asal seluruhnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Imam Malik dilahirkan pada zaman khalifah Walid bi Abdul Muluk dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rasyid di Madinah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah. Oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu karena merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya, juga pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al-Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far As-Shidiq. Tampaknya, beliau yakin bahwa sudah cukup baginya kota Madinah sebagai pusat menimba ilmu. Oleh karena itulah, ajaran Islam lahir yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya dan tabiin. Banyak juga para pendatang yang menetap di sana untuk berbagai kepentingan, termasuk mendalami ilmu pengetahuan tentang Islam.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al-Mansur, Al-Mahdi, harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmun, bahkan ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya. Menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang.
Selama empat puluh tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan empat puluh enam tahun dalam periode Abbasiyah. Masa-masa ini merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan polotik. Dalam pandangan polotik, misalnya muncul aliran Syi’ah dan Khawarij. Dalam teologi, muncul aliran Qadariyah, Jahamiyah, dan Murji’ah.
Perjalanan hidup Imam Malik tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Ia pernah disiksa, diseret sampai bahunya terlepas, bahkan dipenjara karena sering menjelaskan hadis-hadis sehingga masyarakat terdorong untuk memberontak dan tidak mau membaiat khalifah. Pada akhir masa tuanya, ia menderita sakit dan sakitnya tambah parah. Banyak orang yang tidak tahu sakit yang diderita Imam Malik. Ia meninggal di Madinah (179H) pada usia 86 tahun.

3.      Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn Al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi ibn As-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd Al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf. Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek Rasulullah SAW) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju Palestina. Setibanya di Gaza,ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sebagai anak yatim. Saat Imam Syafi’i lahir, dua orang ulama besar meninggal dunia, seorang di Baghdad yaitu Imam Abu Hanifah, dan seorang lagi bernama nama Imam Malik.
Kecerdasan Imam Syafi’i telah terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu, telah menghapal seluruh ayat al-Quran dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Quran dalam perjalanannya dari Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian kitab Al Muwatha’ karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihapalnya di luar kepala. Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di Dusun Badui Bani Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar fikih dari seorang ulama besar juga mufti kota Mekah saat itu, yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasan inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekah.
Meskipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaanya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari Nashiru Sunnah (pembela sunnah Nabi).
Setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan dan tulisan dan sudah mengarang kitab Ar-Risalah (dalam ushul fikih) dan beberapa kitab lainnya, ia meninggal dunia. Rabi bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, “Imam Asy-Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah shalat maghrib, pada usia 54 tahun, malam jumat, bertepatan dengan tanggal 28 JUNI 819 M.

4.      Mazhab Hanbali
Imam Hanbali bernama Abu Abd Allah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asy-Syaibani al-Marwazi Al-Baghdadi, lahir di (Mirwa) Baghdad pada tahun 780-855 M bertepatan pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Julukan Abu Abdullah ini berasal dari bangsa Arab kabilah  An-Najjar. Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya blajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad. Setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk menimba ilmu dari sang ulam. Ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat, seperti Bashrah, Syam, Kufah, Yaman, Mekah, dan Madinah.
Khalifah yang berkuasa ketika Imam Hanbali dilahirkan adalah Musa Al-Mahdi (169-170 H) darikalangan Abasiyah. Ahmad ibn Hanbal mendapatkan siksaan dan dipenjarakan pada zaman kekuasaan Al-Makmun. Apa yang dialami oleh Imam Hanbal tak lain karena persoalan tentang apakah Al-Quran itu makhluk (baru) atau qadim (sudah ada sebelumnya). Sementara khalifah pada saat itu, dan beberapa orang muktazilah, seperti Al-Ja’du ibn Dirham, Jaham ibn Safwan mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, sementara Imam Hanbali menjelaskan bahwa Al-Quran adalah qadim (bukan baru, ia sudah ada sebelum makhluk).
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadis tidak diragukan lagi. Putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, mengatakan bahwa Imam Hanbali telah hapal 700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya Al-Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaian Imam Hanbali mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
Perjalanan hidup Imam Hanbali yang penuh dengan derita dan luka tak menggentarka dia untuk mencari ilmu dan membuat karya. Ahmad ibn Hanbal meninggal pada hari Jumat pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M dalam usia 77 tahun. Dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota Baghdad.


5.      Mazhab Syi’ah Ja’fari
Imam Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq ia dilahirkan di Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 149 H. Pada tahun yang sama, lahir pula Imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) tahun 80 H; dan pada saat itu pula, lahir paman Abu Ja’far. Zaid ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Ali bin Abi Thalib (mazhab Zaidiyah). Bapak abu Jafar Ash-Shadiq adalah Imam Muhammad al-Baqir ibn Husein ibn Ali Zainal Abidin, sedangkan ibunya, Umi Furwat binti Al-Qashim ibn Muhammad ibn Abi Bakar Ash-Shiddiq. Imam Ja’far berasal dari keturunan suci, yaitu keturunan Rasulullah SAW. Kakek dari ibunya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, nasab demikian tidak didapati pada imam mazhab fiqh lain.
Imam Ja’far belajar ilmu langsung dari bapaknya karena ia hidup dengannya selama 30 tahun. Di samping itu, ia belajar dari kakek-kakeknya (sahabat Nabi SAW). Kakek dari ibunya, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar juga kakek dari bapaknya, Ali Zainal Abidin bin Husein bin Abu Thalib, dari mereka berdualah, Abu Ja’far belajar ilmu sehingga dalam usia dini, ia telah hapal Al-Quran, mendalami tafsir, hadis dan sunnah dari sumber yang paling terpercaya di kalangan ahlu bait Imam Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sahabat lainnya.
Masa hidupnya tidak jauh berbeda dengan masa hidup Imam Abu Hanifah, yakni pada masa Umayah dan Abasiyah. Meskipun Abu Ja’far meninggal dunia lebih dahulu daripada Imam Abu Hanifah. Pada saat yang sama, Imam Abu Hanifah pun pernah berguru kepada Imam Abu Ja’far, kurang lebih dua tahun setelah peristiwa debat di hadapan Kalifah Al-Mansyur dengan empat puluh pertanyaan yang dijawab semua oleh Imam Ja’far. Di sinilah, Imam Abu Hanifah mengakui  keilmuan Imam Ja’far.
Secara keilmuan, Imam Ja’far menguasai ilmu-ilmu Al-Quran, hadis, fikih, ilmu-ilmu alam. Bahkan, ilmu alam telah dihimpun oleh muridnya, Jabir ibn Hayyan sekitar 500 risalah. Kejuhudan Imam Ja’far terhadap ilmu sangat tinggi dibandingkan polotik, bahkan ketika ditawari menjadi khalifah, ia menolaknya. Kekejaman para penguasa tidak bisa dilawan dengan senjata atau politik, Imam Ja’far berusaha melawan dengan ilmu atau kata-kata atau pemikirannya.
Kerangka berpikir hukum yang digunakan Imam Ja’far adalah Al-Quran, As-Sunnah, dan bila tidak ada dari keduanya, ia menggunakan keputusan akal. Kemudian, mengaitkan dengan tujuan syariat, yakni kemaslahatan bagi umat manusia karena akal bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Imam Ja’far meninggal dunia ketika Imam Malik berguru kepadanya.
Banyaknya perbedaan cara pandang fiqh dari berbagai mazhab terkadang sampai membingungkan masyarakat awam. Ada yang fanatik (taqlid) dengan mazhab atau ulamanya. Ada pula yang apatis dengan mazhab sehingga memilih tidak bermazhab.
Dari kaum intelektual ada pula yang berpendapat kebanyakan mazhab klasik sudah tidak relevan dengan dinamika kekinian. Bagaimanakah seharusnya seorang muslim menentukan sikap dalam bermazhab?
Umat Islam perlu memahami, dalam menjalankan syariat apalagi menetapkan suatu hukum tidak cukup dengan mengambil Alquran dan hadis secara mentah-mentah. Ayat Alquran atau hadis yang dijadikan dalil mungkin tidak salah. Tapi pemahaman tafsir atau hadis yang dijadikan dalil itu yang mungkin keliru. Jadi dalam mengkaji tafsir Alquran maupun hadis, perlu dijembatani dengan tafsir-tafsir serta pendapat ulama.
Menafsirkan Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan pada kesesatan. Itulah alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah alasannya mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan tuntunan yang sahih dari mazhabnya.
Segolongan umat Islam lainnya ada pula yang meyakini tak perlu bermazhab. Alasan mereka, para imam mazhab dalam melahirkan pandangan fiqihnya selalu berpatokan pada Alquran dan hadis. Jadi lebih baik mengikut pada perawi hadis langsung seperti Bukhari dan Muslim. Atau penafsir Alquran dari sahabat Nabi SAW yakni Ibnu Abbas RA.
Para imam mazhab bukanlah orang-orang pandir dalam seluk-beluk agama. Sedari kecil mereka telah menunjukkan loyalitas sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ajaran Islam menganjurkan umatnya mengikuti hasil ijtihad seorang ulama yang sudah dikenal alim dan shalehnya. Dalam hal ini, para imam mazhablah yang paling populer untuk diikuti.
Ada yang sinis memandang para imam mazhab sangat bergantung pada ijtihad para ahli hadis seperti Bukhari Muslim. Misalkan ucapan imam Syafi'i yang mengatakan, "bila ada suatu hadis sahih, maka itulah mazhabku." Atau perkataan, "bila mazhabku bertentangan dengan hadis Nabi, maka ambillah hadis itu dan buang mazhabku ini."
Jadi, dengan adanya peran ulama mazhab, komplit dan sintesislah seluruh pola dan metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber dalil. Memang ulama mazhab tidak hanya empat saja, tetapi banyak mazhab-mazhab lainnya walau tidak sepopuler mazhab yang empat. Pengasuh rumah fiqh Indonesia Ahmad Sarwat MA mengistilahkan mazhab dengan ringkasan dari variasi berbagai metode istimbath (penetapan) hukum atau perwakilan dari sekian banyak variasi itu.

Madzhab-madzhab fiqih Islam tidak hanya terbatas pada empat mazhab sebagaimana dugaan orang selama ini. Tetapi juga imam-imam lain yang hidup sezaman dengan mereka (keempat imam tadi) yang peringkat ilmu dan ijtihadnya sama seperti mereka, bahkan mungkin jauh lebih pandai dan lebih mengerti daripada mereka.
Imam al-Laits bin Sa’ad adalah imam yang hidup sezaman dengan Imam Malik. Imam Syafi’i pernah berkata mengenai Imam al-Laits ini, katanya, “Kalau saja tidak takut pada sahabat-sahabat Imam Malik tersinggung sehingga bertindak kasar kepada al-Laits, dapat dikatakan bahwa al-Laits itu lebih pandai dari pada Imam Malik.”
Di Irak terdapat Sufyan ats-Tsauri yang tidak kalah martabatnya dalam bidang fiqih daripada Imam Abu Hanifah. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memasukkan ats-Tsauri sebagai salah seorang imam yang lima dalam bidang fiqih. Lebih-lebih tentang keimaman beliau mengenai ilmu As-Sunnah, sehingga beliau digelari “Amirul Mu’minin fil-Hadits” (Amirul Mu’minin dalam bidang hadits).
Al-Auza’i adalah Imam negeri Syam yang tidak ada tandingannya. Mazhabnya telah diamalkan di sana lebih dari dua ratus tahun. Di negeri tersebut ada juga Ahlul-Bait seperti Imam Zaid bin Ali, dan saudaranya Imam Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Baqir, serta putranya Imam Abu Ja’far ash-Shadiq. Masing-masing mereka adalah mujtahid mutlak, yang diakui keimamannya oleh semua kalangan Ahlus-Sunnah. Selain itu, ada pula Imam ath-Thabari. Beliau seorang mujtahid mutlak dan imam fiqih, sebagai imam dalam bidang tafsir, hadits, dan tarikh. Mazhab beliau juga mempunyai pengikut, meskipun kemudian musnah.
Jadi, jika amal perbuatan yang di lakukan seseorang itu tidak tergantung kepada perkara yang telah ditentukan oleh mazhab yang dianutnya. Dalam masalah ini, maka tidak ada larangan baginya untuk mengikuti mazhab lain.
Pesan imam mazhab atau ajakan para imam dalam bentuk satu atau dua kalimat tersebut untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan para imam mazhab, pada dasarnya adalah sebuah usaha diantara usaha-usaha lain dalam memahami Islam. Intinya, para imam mazhab fikih mengajak untuk tidak “taqlid” dan fanatik yang berlebihan terhadap mazhabnya.


BAB III

PENUTUP


1.      Madzhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba  yang artinya ‘pergi’. Sedangkan secara terminologis pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah atau mengstinbatan hukum Islam.
2.      Madzhab-madzhab fiqh lahir pada masa peradaban Daulah Abbasiyah yang merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah “The Golden Age”. Pada masa ini umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan.
3.      Ditinjau dari aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam tiga kelompok,yaitu Mazhab Ahlussunnah, Mazhab Syi’ah, dan Mazhab Khawarij. Mazhab Ahlussunnah. Mazhab ini terdiri atas 4 mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
4.      Menafsirkan Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan pada kesesatan. Itulah alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah alasannya mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan tuntunan yang sahih dari mazhabnya.
5.      Pesan imam mazhab atau ajakan para imam dalam bentuk satu atau dua kalimat tersebut untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan para imam mazhab, pada dasarnya adalah sebuah usaha diantara usaha-usaha lain dalam memahami Islam. Intinya, para imam mazhab fikih mengajak untuk tidak “taqlid” dan fanatik yang berlebihan terhadap mazhabnya.



Berdasarkan beberapa uraian diatas diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang bermazhab dalam Fikih, dan untuk pendidik diharapkan dapat menerapkannya dalam pembelajaran di kelas sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.


DAFTAR PUSTAKA


Opik Taupik K & Ali Khosim Al-Mansyur, FIQIH 4 MADZHAB : Kajian Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Aura Semesta, Cetakan Ke-2, 2015
Yanggo, Huzaemah Tahido.1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat : Logos Wacana Ilmu
Syariffudin, Amir. 1997.  Ushul Fiqh  jilid 1. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
As-Sayis, Ali dan Muhammad. 2003. Sejarah Fiqih Islam.  Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Supriyadi, Dedi.2007. Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru. Bandung: Pustaka Setia.



No comments:

Post a Comment

LOGO SMP-IT ALKHOIRIYYAH GARUT