MAKALAH
BERMAZHAB DALAM FIKIH
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas terstruktur
Mata Kuliah :
Pengantar Ilmu Fikih
Dosen : Ceceng
Salamudin, M.Ag.
Disusun Oleh : Kelompok 3
1.
Rizki
Nurul Huda Hoeriah :
14210017
2.
Zaki :
14210092
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MUSADDADIYAH
GARUT
2017
Dengan menyebut Nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “BERMAZHAB DALAM FIKIH”.
Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kamidapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap
semoga makalah tentang bermazhab dalam
fikih ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.
Garut, Oktober 2017
Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang ramat bagi seluruh alam. Hukum-hukum Islam
diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum Islam, sehingga
banyak ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu. Akhirnya,
hukum Islam ini terbagi dalam beberapa mazhab, yang kita kenal sekarang.
Fiqh adalah hukum-hukum syar’iyah amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, berupa ibadah dan muamalah. Maksud dari sumber-sumber fiqh disini adalah
dalil-dalil yang menjadi sandaran dan pijakkan dimana fiqh menimba darinya.
Sebagian ulama menyebutnya dengan sumber-sumber syari’at islam. Apapun nama
yang diberikan, sumber-sumber fiqh seluruhnya kembali kepada al-Qur’an ataupun
sunnah.
Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang
menjadi tujuan seseorang. Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama Islam,
mazhab adalah metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan
penelitian sebagai pedoman yang jelas untuk kehidupan umat.
Para mujtahid lahir pada periode ke-4 yang
memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan dalam kemajuan fiqh. Mereka
telah mendirikan madrasah-madrasah fiqh yang panjinya menaungi banyak fuqoha’
besar, dan memiliki banyak pengikut. Madrasah fiqh itu disebut dengan mazhab
islam dan diiringi dengan nama pendirinya. Meskipun banyak jumlahnya, ia tidak
memecah belah islam dan tidak memunculkan syari’at yang baru, melainkan hanya
sebuah metode memahami syari’at, menafsirkan nash-nashnya, dan cara-cara
mengistinbatkan hukum dari sumber-sumbernya. Namun dari sekian
banyak mazhab yang ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan masih
terus dijadikan panduan hingga saat ini. Mazhab yang digunakan saat ini terbagi
atas dua kelompok besar, yaitu mazhab golongan Sunni (Ahlus-sunnah wal Jama’ah)
dan mazhab golongan Syi’ah.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, kami tertarik untuk
mengedepankan tema tentang “BERMAZHAB DALAM FIKIH”
Berdasarkan latar belakang yang
telah disampaikan di atas maka penyusun merumuskan suatu rumusan masalah yang
diantaranya sebagai berikut:
1. Apa yang
dimaksud dengan mazhab?
2. Bagaimana
sejarah terbentuknya mazhab fikih?
3. Bagaimana
lokalitas dan subjektivitas mazhab?
4. Mengapa
bermazhab?
5. Bagaimana
batasan dalam bermazhab?
Adapun tujuan penulisan makalah ini
berdasarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian Mazhab.
2. Untuk
mengetahui sejarah terbentuknya mazhab fikih.
3. Untuk
mengetahui lokalitas dan subjektivitas mazhab.
4. Untuk
mengetahui alasan bermazhab.
5. Untuk
mengetahui batasan dalam bermazhab.
Berdasarkan pembahasan mengenai
bermazhab dalam fikih, maka manfaat penulisan dapat ditinjau dari dua sisi,
antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Hasil diskusi dalam makalah ini
secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
memperkaya wawasan mengenai bermazhab dalamk fikih. Serta dapat
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Praktis
Hasil diskusi ini secara praktis
diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang
berkaitan dengan pendidikan. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi acuan bagi
penyusunan program pemecahan masalah mengenai bermazhab dalam fikih. Serta dapat
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada penyusunan makalah ini kami awali dengan BAB I
yaitu PENDAHULUAN yang di dalamnya berisi: A. Latar Belakang Masalah; B.
Rumusan Masalah; C. Tujuan Pembahasan; D. Manfaat Penulisan dan E. Sistematika
Penulisan Makalah; BAB II KAJIAN
TEORITIK, yang berisi: A. Pengertian Mazhab; B. Sejarah Terbentuknya Mazhab
Fikih; C. Lokalitas dan Subjektivitas Mazhab; D. Alasan Bermazhab; E. Batasan
dalam Bermazhab; BAB III PENUTUP yang berisi: A. Kesimpulan; B. Saran; serta
adanya DAFTAR PUSTAKA.
BAB II
KAJIAN TEORETIS
Madzhab menurut bahasa Arab adalah
isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba yang artinya
‘pergi’. Jadi, pengertian madzhab secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu
jalan. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan secara terminologis
pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah atau
mengstinbatan hukum Islam.
Menurut para ulama dan ahli agama
Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya
sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibagun di
atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Mazhab menurut ulama Fikih , adalah
sebuah metodologi fikih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fikih mujtahud,
yang berbeda dengan ahli fikih lain, yang mengantarkannya memilih sejumlah
hukum dalam kawasan ilmu Furu’.
Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran
(paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu
hukum Islam dari Al-Quran dan hadits.
Menurut K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam
istilah islam berarti pendapat, paham atau aliranseorang alim besar
dalam Islam yang digelari Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal,
mazhab Imam syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.
Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat
seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun
lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu :
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam
mujtahid dalam menetapkan hukum atau peristiwa berdasarkan Al-quran dan Hadis.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan Hadis.
Jadi mazhab adalah poko
kpikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbatkan hukum islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara
Istinbath Imam Mujtahid tertentuatau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Selanjutnya Imam Madzhab dan madzab
itu berkembang pengertiannya menjadi kelompokm umat Islam yang mengikuti cara
istinhbat Imam Mutjahid tertentu atau megikuti pendapat Imam Mutjahid tentang
masalah hukum Islam.
Itulah penjelasan
mengenai pengertian mazhab yang pada intinya memiliki makna yang sama. Lahirnya
mazhab ini tidak bisa terlepas dari perkembangan hukum-hukum islam sebelumnya
yaitu pada masa Rasulullah dan sahabat. Bila pada masa Nabi sumber fiqih adalah
Al-Quran, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi
dan Ijtihad sebagai sumber penerapan fiqih. Sesudah masa sahabat, penetapan
fiqih dengan menggunakan Sunnah dan Ijtihad ini sudah begitu berkembang dan
meluas. Yang kemudian kita mengenal mazhab-mazhab fiqih. Mazhab dalam fiqih ada
beberapa macam, hal ini dikarenalan adanya perbedaan pendapat dalam berijtihad
seorang ulama.
Manusia diberikan daya
pikir, daya cipta, nalar dan daya mempergunakan ijtihad. Maka sesuai dengan
tabiat dan naluri manusia itu sendiri, timbullah berbagai macam pendapat dalam
menhadapai suatu masalah. Hal ini tidak mungkin dihilangkan atau dihindari
karena naluri manusia menghendaki yang demikian. Itulah yang melatar belakangi
lahirnya mazhab-mazhab dalam dunia Islam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya
bahwa mazhab adalah hasil Ijtihad seorang Mujtahid, yang mana dari para
Mujtahid itu terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menetapkan sebuah
hukum yang belum ada nashnya dalam Al-Quran dan Hadis.
Mengutip dari buku Fiqh 4 Madzhab :
Fiqh dan Ushul Fiqh yang ditulis oleh Dr. H. Opik Taupik K, M.Ag dan Ali
Khosim Al-Mansyur, M.Ag, madzhab-madzhab fiqh lahir pada masa peradaban Daulah
Abbasiyah yang merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan
istilah “The Golden Age”. Pada masa
ini umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi,
peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa
asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di
berbagai disiplin ilmu penetahuan.
Banni Abbas mewarisi imperium besar Bani umayah. Hal ini memungkinkan
mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan
oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga
dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa
madzhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqih agung yang
berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang
menjadikan landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, karena
pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili madzhab-madzhab ahli hadits
dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya madzhab-madzhab fiqh, dan
madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional.
Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran madzhab-madzhab
hukum dan dua abad kemudian madzhab-madzhab hukum ini telah melembaga dalam
masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakuan istinbat hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini,
tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk
hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madzhab seperti Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan
kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan
mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Madzhab ini, pada awalnya hanya
bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash
Al-Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya
dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam madzhab
tersebut berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan tanpa ia sadari
menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan
semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu
dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai
aliran atau madzhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut
madzhab dalam melakukan istinbath hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut
merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan
pola kerja dan kerangka metodologiyang sistematis dalam usaha melakukan
istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah
dalam pemikiran hukum Islam disebut ushul
fiqh.
Sampai saat ini Fiqh ihktilaf terus
berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam
memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan
itu terjadi anatara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang
cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang
mewajibkan madzhab dan yang melarangnya.
Perbedaan pendapat dikalangan umat ini, sampai kapanpun dan di mana pun
akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan kedinamisan umat Islam, karena
pola pikir terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan
madzhab-madzhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang.
Masing-masing madzhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang
akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk
diantaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan Al-Quran dan al-Sunnah.
Sejak kira-kira
pertengahan abad pertama hijriyah sampai awal abad ke empat, tidak kurang dari
19 aliran hukum sudah tumbuh dalam Islam. Kenyataan ini saja cukuplah
menunjukkan betapa ahli-ahli hukum kita dahulu tak putus-putusnya bekerja untuk
disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus tumbuh.
Pada masa Tabi’-tabi’in
yang dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, kedudukan Ijtihad sebagai Istinbath
hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah
mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam. Adapun faktor yang menentukan
perkembangan hukum Islam sesudah Rasulullah wafat, yaitu:
1. Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah
semenanjung Arab, Irak, mesir, Syam, Persi dan lain-lain.
2. Pergaulan kamu muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya. Mereka
terpengaruh oleh budaya, adat istiadat serta tradis bangsa tersebut.
3. Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukan itu dengan ibu kota Khalifah
(pemerintahan) Islam, membuat gubernur, para hakim dan para ulama harus
melakukanijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah
baru yang dihadapi.
Dalam perkembangannya,
mazhab-mazhab itu tidak sama. Ada yang mendapatkan sambutan dan memiliki
pengikut yang mengembangkan dan meneruskannya, namun adakalanya suatu mazhab
kalah pengaruhnya oleh mazhab-mazhab yang lain, dan pengikutnya menjadi surut.
Oleh karenaya ada mazhab-mazhab yang masih eksis dan dianut oleh umat muslim
sampai saat ini diantaranya : mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi.i,
mazhab Hanbali, mazhab Syi’ah, dan mazhab Dhahiri. Adapun mazhabyang telah
punah antara lain: mazhab Al-Auza’iy, mazhab Al-Zhahiry, mazhab al-Thabary, dan
mazhab al-Laits.
Ditinjau dari aspek teologis, mazhab
fiqh dibagi dalam tiga kelompok,yaitu Mazhab Ahlussunnah, Mazhab Syi’ah, dan
Mazhab Khawarij. Dalam perkembangannya, ketiga kelompok mazhab tersebut tidak
semuanya dianut dan bertahan lama, bergantung pada faktor kekuatan dan
kekuasaan yang memberikan pengaruh terhadap maju dan mundurnya mazhab. Akan
tetapi, mazhab tersebut berlaku sampai sekarang
Mazhab Ahlussunnah. Mazhab ini
terdiri atas 4 mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Mazhab Hanafi dinisbatkan kepada
Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang
banyak dikunjungi oleh berbagai ulama pada zamannya. Mazhab Hanafi dikenal
banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Fikih Hanafi membekas kepada
ahli Kufah negeri Imam Abu Hanifah dilahirkan yang mengembangkan aplikasi adat,
qiyas, dan istihsan. Bahkan, dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan
beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada
qiyas, dan apabila qiyasnya buruk ( tidak rasional), Imam Hanafi
meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas,
Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan
apa-apa yang telah diyakini oleh umat Islam.
Mazhab Maliki. Pemikiran fikih
mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya
sebagai seorang ahli hadis dan fikih terkemuka serta tokoh ahlulhadis.
Pemikiran fikih dan ushul fikih Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya
Al-Muwatha’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan baru
selesai pada zaman khalifah Al-Ma’mun. Prinsip dasar mazhab Maliki ditulis oleh
para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam
Al-Muwatha’.
Mazhab Syafi’i. Pemikiran fikih
mazhab ini diawali oleh Imam Asy-Syafi’i. Imam Syafi’ adalah tokoh yang
mengetahui pemikiran ahlurra’yi dan ahlulhadis dan mencoba dipadukan kedua
pemikiran tersebut. Prinsip dasar mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab
ushul fikih Ar-Risalah. Dalam buku ini Asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan
prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyah (yang
bersifat cabang). Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab
Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab ushul fikihnya Ar-Risalah dan kitab
fikihnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Imam syafi’i ini kemudian
disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya.
Mazhab Hanbali. Pemikiran mazhab
Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hambal. Ia terkenal sebagai ulama fikih dan
hadis terkemuka pada zamannya dan pernah belajar fikih ahlurra’yi kepada Imam
Abu Yusuf dan Imam Asy-Syafi’i. Para pengembang mazhab Hanbali adalah generasi
awal ( sesudah Imam Ahmad bin Hanbal).
Mazhab syi’ah Ja’fari. Mazhab ini
dinisbatkan kepada Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq. Dasar pemikiran fikih Syi’ah
Ja’fari dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir Ad-Darajat
fi ‘ulum’Ali Muhammad wa ma Khassabun Allah bihi. Mazhab ini disebarluaskan dan
dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’kub bin Ishaq Al-Kaulani (w. 328H). Mazhab
ini merupakan mazhab resmi negara Iran sampai sekarang.
1. Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah dikenal dengan
sebutan imam Hanafi. Bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al-Kufi, lahir
di Irak (Kuffah) pada tahun 80 Hijriah (699 M). Ia hidup pada dua masa: masa
kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa Bani Abbasiyah,
Khalifah Al-Manshur. Digelari Abu Hanifah (suci, lurus) karena kesungguhannya
dalamk beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan
dosa dan keji.
Abu Hanifah berasal dari keluarga
berbangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum ia dilahirkan, ayahnya
sudah pindah ke Kuffah. Ia dinamai An-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati
kepada salah seorang Raja Persia yang bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan. Pada
masa Abu Hanifah dilahirkan, pemerintah islam (di Kufah) berada di tangan
kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (khalifah Bani Umayyah yang ke V). Abu Hanifah
hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiyah.
Pada masa remajanya, dengan segala
kecemerlangan otaknya, Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu
pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Kendati anak saudagar
kaya, ia sangat menjauhi hidup yang bermewah-mewahan. Begitupun setelah menjadi
seorang pedagang yang sukses. Hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk
kepentingan sendiri, misalnya memberi kebutuhan makan dan menguatkan pasukan
Imam Zaid ketika memberontak khalifah Bani Umayyah.
Perhatian Abu Hanifah yang sangat
tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan dirinya menjadi seorang imam yang
besar dan terkenal pada saat itu (sampai sekarang, penulis), dan ketenarannya
itu didengar oleh Yazid ibn Umar ibn Hubairah seorang Gubernur Irak sehingga
Yazid meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadhi. Akan tetapi, Abu Hanifah
menolak. Karena menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah ditangkap, dipenjarakan,
dan dicambuk. Atas pertolongan juru cambuk, Abu Hanifah berhasil meloloskan
diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal di sana selama 6 tahun
(130-136 H). Setelah Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut
kekuasaan Abbasiyah dengan rasa gembira. Sikap polotik Abu Hanifah berpihak
pada keluarga Ali (Ahl Al-Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas, baik oleh
Dinasti Umayyah ataupun Bni Abbasiyah.
Penguasaan terhadap berbagai ilmu
seperti ilmu fikih, ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab dan ilmu hikmah, telah
mengantarkannya sebagai ahli fikih dan keahliannya itu diakui oleh para ulama
pada zamannya, seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakan Abu
Hanifah untuk memberikan fatwa dan pelajaran fikih kepada murid-muridnya.
Keahlian tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i bahwa “Abu Hanifah adalah
bapak dan pemuka seluruh ulama fikih”. Karena kepeduliannya yang sangat besar
terhadap hukum Islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di
dalamnya berkecimpung para ahli fikih untuk bermusyawarah tentang hukum Islam
serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan
dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun
oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan
urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Predikat Al-Imam al-‘Azham (imam
yang terbesar). Diberikan oleh muridnya dan para pengikutnya kepada Abu
Hanifah, meskipun ia sendiri bersikukuh menolaknya. Berbagai hadiah, wanita,
jabatan ditawarkan kepada Abu Hanifah, tetap saja ia menolak. Disiksa, dipukul,
dipenjara adalah konsekuensi yang harus diterima oleh Abu Hanifah karena
menolak semua itu. Abu Hanifah meninggal dunia tahun 150 H dengan diantar oleh
lima puluh ribu penduduk Irak.
2. Mazhab Maliki
Imam Malik bernama lengkap Abu
Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn
Kutail ibn Amr ibn Haris Al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93-179
H/712-796 M. Nama Al-Asbahi, nisbah pada Ashbah, salah satu kabilah di
Yamantempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan tinggal di sana. Kakeknya
tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersamanya,
kecuali perang Badar. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus
sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya Islam maupun sesudahnya. Tanah asal
seluruhnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka
pindah ke Madinah. Imam Malik dilahirkan pada zaman khalifah Walid bi Abdul
Muluk dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rasyid di Madinah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama
hadis terpandang di Madinah. Oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat
meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu karena merasa Madinah adalah kota
sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya. Imam Malik menekuni
pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya, juga pernah berguru pada
ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu
Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al-Anshari, Muhammad bin Munkadir,
Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far As-Shidiq. Tampaknya, beliau yakin bahwa
sudah cukup baginya kota Madinah sebagai pusat menimba ilmu. Oleh karena
itulah, ajaran Islam lahir yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya dan
tabiin. Banyak juga para pendatang yang menetap di sana untuk berbagai
kepentingan, termasuk mendalami ilmu pengetahuan tentang Islam.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan
hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat
khalifah, mulai dari Al-Mansur, Al-Mahdi, harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmun,
bahkan ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu
darinya. Menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal
mencapai 1.300 orang.
Selama empat puluh tahun ia hidup
dalam periode Umayyah dan empat puluh enam tahun dalam periode Abbasiyah.
Masa-masa ini merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan
polotik. Dalam pandangan polotik, misalnya muncul aliran Syi’ah dan Khawarij.
Dalam teologi, muncul aliran Qadariyah, Jahamiyah, dan Murji’ah.
Perjalanan hidup Imam Malik tidak
jauh berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Ia pernah disiksa, diseret sampai bahunya
terlepas, bahkan dipenjara karena sering menjelaskan hadis-hadis sehingga
masyarakat terdorong untuk memberontak dan tidak mau membaiat khalifah. Pada
akhir masa tuanya, ia menderita sakit dan sakitnya tambah parah. Banyak orang
yang tidak tahu sakit yang diderita Imam Malik. Ia meninggal di Madinah (179H)
pada usia 86 tahun.
3. Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu
Abdullah Muhammad ibn Idris ibn Al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi ibn As-Sa’ib ibn
‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd Al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf. Lahir di Gaza,
Palestina pada tahun 150 hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan
Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya
bertemu di Abdul Manaf (kakek Rasulullah SAW) dan dari ibunya masih merupakan
cicit Ali bin Abi Thalib r.a. semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya
meninggalkan Mekkah menuju Palestina. Setibanya di Gaza,ayahnya jatuh sakit dan
berpulang ke rahmatullah, kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sebagai
anak yatim. Saat Imam Syafi’i lahir, dua orang ulama besar meninggal dunia,
seorang di Baghdad yaitu Imam Abu Hanifah, dan seorang lagi bernama nama Imam
Malik.
Kecerdasan Imam Syafi’i telah
terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu, telah menghapal seluruh ayat
al-Quran dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Quran dalam
perjalanannya dari Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian kitab Al Muwatha’
karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihapalnya di luar
kepala. Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di Dusun Badui Bani
Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar fikih dari
seorang ulama besar juga mufti kota Mekah saat itu, yaitu Imam Muslim bin
Khalid Azzanni. Kecerdasan inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat
muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekah.
Meskipun menguasai hampir seluruh
disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena
inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaanya yang
besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari Nashiru Sunnah (pembela sunnah
Nabi).
Setelah 6 tahun tinggal di Mesir
mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan dan tulisan dan sudah mengarang
kitab Ar-Risalah (dalam ushul fikih) dan beberapa kitab lainnya, ia meninggal
dunia. Rabi bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, “Imam Asy-Syafi’i berpulang
ke rahmatullah sesudah shalat maghrib, pada usia 54 tahun, malam jumat,
bertepatan dengan tanggal 28 JUNI 819 M.
4. Mazhab Hanbali
Imam Hanbali bernama Abu Abd Allah
Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asy-Syaibani al-Marwazi Al-Baghdadi, lahir di
(Mirwa) Baghdad pada tahun 780-855 M bertepatan pada bulan Rabiul Awal tahun
164 H. Julukan Abu Abdullah ini berasal dari bangsa Arab kabilah An-Najjar. Nasabnya bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran
sang ayah meninggal pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar
membuatnya blajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di
Baghdad. Setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela
menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk menimba ilmu dari sang
ulam. Ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat, seperti Bashrah, Syam,
Kufah, Yaman, Mekah, dan Madinah.
Khalifah yang berkuasa ketika Imam
Hanbali dilahirkan adalah Musa Al-Mahdi (169-170 H) darikalangan Abasiyah.
Ahmad ibn Hanbal mendapatkan siksaan dan dipenjarakan pada zaman kekuasaan
Al-Makmun. Apa yang dialami oleh Imam Hanbal tak lain karena persoalan tentang
apakah Al-Quran itu makhluk (baru) atau qadim (sudah ada sebelumnya). Sementara
khalifah pada saat itu, dan beberapa orang muktazilah, seperti Al-Ja’du ibn
Dirham, Jaham ibn Safwan mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, sementara
Imam Hanbali menjelaskan bahwa Al-Quran adalah qadim (bukan baru, ia sudah ada
sebelum makhluk).
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu
hadis tidak diragukan lagi. Putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, mengatakan
bahwa Imam Hanbali telah hapal 700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu
kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya Al-Musnad
berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan.
Kemampuan dan kepandaian Imam Hanbali mengundang banyak tokoh ulama yang
berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal
semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
Perjalanan hidup Imam Hanbali yang
penuh dengan derita dan luka tak menggentarka dia untuk mencari ilmu dan
membuat karya. Ahmad ibn Hanbal meninggal pada hari Jumat pagi tanggal 12
Rabiul Awal tahun 241 H/855 M dalam usia 77 tahun. Dimakamkan di pemakaman Bab
Harb di kota Baghdad.
5. Mazhab Syi’ah Ja’fari
Imam Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq
ia dilahirkan di Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 149 H. Pada tahun
yang sama, lahir pula Imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) tahun 80 H; dan pada
saat itu pula, lahir paman Abu Ja’far. Zaid ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein
ibn Ali bin Abi Thalib (mazhab Zaidiyah). Bapak abu Jafar Ash-Shadiq adalah
Imam Muhammad al-Baqir ibn Husein ibn Ali Zainal Abidin, sedangkan ibunya, Umi
Furwat binti Al-Qashim ibn Muhammad ibn Abi Bakar Ash-Shiddiq. Imam Ja’far
berasal dari keturunan suci, yaitu keturunan Rasulullah SAW. Kakek dari ibunya
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, nasab demikian tidak didapati pada imam mazhab
fiqh lain.
Imam Ja’far belajar ilmu langsung
dari bapaknya karena ia hidup dengannya selama 30 tahun. Di samping itu, ia
belajar dari kakek-kakeknya (sahabat Nabi SAW). Kakek dari ibunya, Al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar juga kakek dari bapaknya, Ali Zainal Abidin bin Husein
bin Abu Thalib, dari mereka berdualah, Abu Ja’far belajar ilmu sehingga dalam
usia dini, ia telah hapal Al-Quran, mendalami tafsir, hadis dan sunnah dari
sumber yang paling terpercaya di kalangan ahlu bait Imam Ali bin Abi Thalib,
Abu Bakar dan sahabat lainnya.
Masa hidupnya tidak jauh berbeda
dengan masa hidup Imam Abu Hanifah, yakni pada masa Umayah dan Abasiyah.
Meskipun Abu Ja’far meninggal dunia lebih dahulu daripada Imam Abu Hanifah.
Pada saat yang sama, Imam Abu Hanifah pun pernah berguru kepada Imam Abu
Ja’far, kurang lebih dua tahun setelah peristiwa debat di hadapan Kalifah
Al-Mansyur dengan empat puluh pertanyaan yang dijawab semua oleh Imam Ja’far.
Di sinilah, Imam Abu Hanifah mengakui
keilmuan Imam Ja’far.
Secara keilmuan, Imam Ja’far
menguasai ilmu-ilmu Al-Quran, hadis, fikih, ilmu-ilmu alam. Bahkan, ilmu alam
telah dihimpun oleh muridnya, Jabir ibn Hayyan sekitar 500 risalah. Kejuhudan
Imam Ja’far terhadap ilmu sangat tinggi dibandingkan polotik, bahkan ketika
ditawari menjadi khalifah, ia menolaknya. Kekejaman para penguasa tidak bisa
dilawan dengan senjata atau politik, Imam Ja’far berusaha melawan dengan ilmu
atau kata-kata atau pemikirannya.
Kerangka berpikir hukum yang
digunakan Imam Ja’far adalah Al-Quran, As-Sunnah, dan bila tidak ada dari
keduanya, ia menggunakan keputusan akal. Kemudian, mengaitkan dengan tujuan
syariat, yakni kemaslahatan bagi umat manusia karena akal bisa membedakan mana
yang baik dan buruk. Imam Ja’far meninggal dunia ketika Imam Malik berguru
kepadanya.
Banyaknya perbedaan cara pandang fiqh dari berbagai mazhab
terkadang sampai membingungkan masyarakat awam. Ada yang fanatik (taqlid)
dengan mazhab atau ulamanya. Ada pula yang apatis dengan mazhab sehingga
memilih tidak bermazhab.
Dari kaum intelektual ada pula yang berpendapat kebanyakan
mazhab klasik sudah tidak relevan dengan dinamika kekinian. Bagaimanakah
seharusnya seorang muslim menentukan sikap dalam bermazhab?
Umat Islam perlu memahami, dalam menjalankan syariat apalagi
menetapkan suatu hukum tidak cukup dengan mengambil Alquran dan hadis secara
mentah-mentah. Ayat Alquran atau hadis yang dijadikan dalil mungkin tidak
salah. Tapi pemahaman tafsir atau hadis yang dijadikan dalil itu yang mungkin
keliru. Jadi dalam mengkaji tafsir Alquran maupun hadis, perlu dijembatani
dengan tafsir-tafsir serta pendapat ulama.
Menafsirkan Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan
pada kesesatan. Itulah alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering
merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah
alasannya mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan
tuntunan yang sahih dari mazhabnya.
Segolongan umat Islam lainnya ada pula yang meyakini tak
perlu bermazhab. Alasan mereka, para imam mazhab dalam melahirkan pandangan
fiqihnya selalu berpatokan pada Alquran dan hadis. Jadi lebih baik mengikut
pada perawi hadis langsung seperti Bukhari dan Muslim. Atau penafsir Alquran
dari sahabat Nabi SAW yakni Ibnu Abbas RA.
Para imam mazhab bukanlah orang-orang pandir dalam
seluk-beluk agama. Sedari kecil mereka telah menunjukkan loyalitas sangat
tinggi dalam menuntut ilmu. Ajaran Islam menganjurkan umatnya mengikuti hasil
ijtihad seorang ulama yang sudah dikenal alim dan shalehnya. Dalam hal ini,
para imam mazhablah yang paling populer untuk diikuti.
Ada yang sinis memandang para imam mazhab sangat bergantung
pada ijtihad para ahli hadis seperti Bukhari Muslim. Misalkan ucapan imam
Syafi'i yang mengatakan, "bila ada suatu hadis sahih, maka itulah
mazhabku." Atau perkataan, "bila mazhabku bertentangan dengan hadis
Nabi, maka ambillah hadis itu dan buang mazhabku ini."
Jadi, dengan adanya peran ulama mazhab, komplit dan
sintesislah seluruh pola dan metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber
dalil. Memang ulama mazhab tidak hanya empat saja, tetapi banyak mazhab-mazhab
lainnya walau tidak sepopuler mazhab yang empat. Pengasuh rumah fiqh Indonesia
Ahmad Sarwat MA mengistilahkan mazhab dengan ringkasan dari variasi berbagai
metode istimbath (penetapan) hukum atau perwakilan dari sekian banyak variasi
itu.
Madzhab-madzhab
fiqih Islam tidak hanya terbatas pada empat mazhab sebagaimana dugaan orang
selama ini. Tetapi juga imam-imam lain yang hidup sezaman dengan mereka
(keempat imam tadi) yang peringkat ilmu dan ijtihadnya sama seperti mereka,
bahkan mungkin jauh lebih pandai dan lebih mengerti daripada mereka.
Imam
al-Laits bin Sa’ad adalah imam yang hidup sezaman dengan Imam Malik. Imam
Syafi’i pernah berkata mengenai Imam al-Laits ini, katanya, “Kalau saja tidak
takut pada sahabat-sahabat Imam Malik tersinggung sehingga bertindak kasar
kepada al-Laits, dapat dikatakan bahwa al-Laits itu lebih pandai dari pada Imam
Malik.”
Di Irak
terdapat Sufyan ats-Tsauri yang tidak kalah martabatnya dalam bidang fiqih
daripada Imam Abu Hanifah. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memasukkan ats-Tsauri
sebagai salah seorang imam yang lima dalam bidang fiqih. Lebih-lebih tentang
keimaman beliau mengenai ilmu As-Sunnah, sehingga beliau digelari “Amirul
Mu’minin fil-Hadits” (Amirul Mu’minin dalam bidang hadits).
Al-Auza’i
adalah Imam negeri Syam yang tidak ada tandingannya. Mazhabnya telah diamalkan
di sana lebih dari dua ratus tahun. Di negeri tersebut ada juga Ahlul-Bait
seperti Imam Zaid bin Ali, dan saudaranya Imam Abu Ja’far Muhammad bin Ali
al-Baqir, serta putranya Imam Abu Ja’far ash-Shadiq. Masing-masing mereka
adalah mujtahid mutlak, yang diakui keimamannya oleh semua kalangan
Ahlus-Sunnah. Selain itu, ada pula Imam ath-Thabari. Beliau seorang mujtahid
mutlak dan imam fiqih, sebagai imam dalam bidang tafsir, hadits, dan tarikh.
Mazhab beliau juga mempunyai pengikut, meskipun kemudian musnah.
Jadi, jika amal perbuatan yang di
lakukan seseorang itu tidak tergantung kepada perkara yang telah ditentukan
oleh mazhab yang dianutnya. Dalam
masalah ini, maka tidak ada larangan baginya untuk mengikuti mazhab lain.
Pesan imam mazhab atau ajakan para
imam dalam bentuk satu atau dua kalimat tersebut untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan para imam mazhab, pada
dasarnya adalah sebuah usaha diantara usaha-usaha lain dalam memahami Islam.
Intinya, para imam mazhab fikih mengajak untuk tidak “taqlid” dan fanatik yang
berlebihan terhadap mazhabnya.
BAB III
PENUTUP
1. Madzhab
menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar
kata dzahaba yang artinya ‘pergi’. Sedangkan secara
terminologis pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah
atau mengstinbatan hukum Islam.
2. Madzhab-madzhab
fiqh lahir pada masa peradaban Daulah Abbasiyah yang merupakan masa keemasan
Islam, atau sering disebut dengan istilah “The
Golden Age”. Pada masa ini umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan.
3. Ditinjau
dari aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam tiga kelompok,yaitu Mazhab
Ahlussunnah, Mazhab Syi’ah, dan Mazhab Khawarij. Mazhab Ahlussunnah. Mazhab ini
terdiri atas 4 mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
4. Menafsirkan Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan
pada kesesatan. Itulah alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering
merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah
alasannya mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan
tuntunan yang sahih dari mazhabnya.
5. Pesan imam
mazhab atau ajakan para imam dalam bentuk satu atau dua kalimat tersebut untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan para imam
mazhab, pada dasarnya adalah sebuah usaha diantara usaha-usaha lain dalam
memahami Islam. Intinya, para imam mazhab fikih mengajak untuk tidak “taqlid”
dan fanatik yang berlebihan terhadap mazhabnya.
Berdasarkan beberapa uraian diatas
diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang bermazhab dalam Fikih, dan
untuk pendidik diharapkan dapat menerapkannya dalam pembelajaran di kelas
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Opik Taupik K
& Ali Khosim Al-Mansyur, FIQIH 4
MADZHAB : Kajian Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Aura Semesta,
Cetakan Ke-2, 2015
Yanggo,
Huzaemah Tahido.1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat : Logos
Wacana Ilmu
Syariffudin, Amir. 1997. Ushul Fiqh
jilid 1. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
As-Sayis, Ali
dan Muhammad. 2003. Sejarah Fiqih Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Supriyadi,
Dedi.2007. Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru. Bandung: Pustaka
Setia.
No comments:
Post a Comment