MAKALAH
PROBLEMATIKA KUANTITAS DAN KULITAS PENDIDIKAN
“Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur
mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan “
Dosen : Dr. Eko Setiawan, M.Pd
Disusun Oleh : Kelompok 1 (Satu)
|
(142100)
|
|
(142100)
|
|
(142100)
|
|
(142100)
|
|
(142100)
|
FAKULTAS TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MUSADDADIYAH GARUT
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun
panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, solawat
serta salam semoga dilimpah curahkan kepada Nabi Muhamad SAW, Rasululloh
terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat dan
membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Berkat karunia
serta hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah
satu tugas terstruktur pada mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan jurusan Pendidikan
Agama Islam (PAI) semester 7. penyusun berusaha semaksimal mungkin berkarya
dengan harapan makalah ini dapat membantu pencapaian kompetensi mahasiswa dalam
rangka mengingkatkam kualitas bangsa Indonesia.
Makalah ini disajikan dengan bahasa yang mudah
dipahami serta memuat aspek mengenai Problematika Kuantitas dan Kualitas
Pendidikan.
Semoga makalah
ini bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia. Kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun untuk memperbaiki makalah ini yang jauh dari kesempurnaan.
Garut,
Oktober 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . i
DAFTAR
ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar belakang . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . 1
B. Rumusan masalah . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
C. Tujuan Penulisan .. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
D. Manfaat Penulisan.. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Kualitas dan
Kuantitas pendidikan ………………………….……………...……. 3
B. Problematika
Kualitas dan Kuantitas Pendidikan ………………………………....4
C.
Solusi Problematika Pendidikan di Indonesia.……………………………………11
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 12
B. Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Indonesia
semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap
kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pasific,
Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para
guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru
dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya
tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya.
Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi
para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan
malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu.
Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada
anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak
tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya
para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat
potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada
pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah
lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini
salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di
masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah
bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang
tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat
memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia
(UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14
negara berkembang di Asia Pasifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris
ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan
untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara
berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat
14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari sinilah penulis
mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia
dan segala dinamikanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Kuantitas dan
Kualitas pendidikan ?
2. Apa saja Problematika Kuantitas dan Kualitas pendidikan
di Indonesia
3. Bagaiman solusi terhadap Kuantitas dan kualitas
pendidikan di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan
masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah
apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas
pendidikannya semakin hari semakin menurun.
D. Manfaat Penulisan
Dari penulisan ini
diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan
penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita
dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat
meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kualitas dan Kuantitas pendidikan
Dalam keseharian kita, sebagian besar energi kehidupan
tercurah untuk hal-hal terkait pendidikan. Sadar atau tidak, bahwa pendidikan
adalah proses sepanjang hayat. Pendidikan seperti mata-rantai yang saling
terkait, membentuk lingkaran, dan dipengaruhi faktor lingkungan eksternal.
Untuk menciptakan lulusan lembaga pendidikan yang berkualitas, berarti proses
pendididikan dan pembelajaran juga harus berkualitas. Ini berarti guru dan
tenaga kependidikan juga harus berkualitas, dan sarana pembelajaran yang juga
harus baik. Guru, tenaga kependidikan, dan sarana pembelajaran yang baik,
dihasilkan dari perencanaan, aturan, dan kebijakan yang baik pula.
Masalah kualitas dan kuantitas tidak boleh saling
mengorbankan, tetapi harus berjalan seiring. Mengejar kuantitas dengan
mengesampingkan kualitas, akan membuat hancur dunia pendidikan. Sementara, jika
mengedepankan kualitas dan mengabaikan kuantitas, akan membuat dunia pendidikan
terseok-seok.
Demikian pula masalah kesenjangan antar-wilayah, yang
meliputi penyediaan tenaga pendidik dan kependidikan, gedung sekolah, sarana
pendukung, dan sebagainya. Keberadaan guru, sebagai fasilitator dalam
pembelajaran adalah sangat vital. Guru harus diposisikan sebagai pihak yang
mengemban amanah pendidikan. Masalah penempatan dan peningkatan kualitas guru
adalah wewenang pemerintah.
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
pendidikan. Negara bertugas menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi
warganya. Warga masyarakat pun diberi ruang untuk berpartisipasi
menyelenggarakan pendidikan, sebagai representasi dari tanggungjawab bersama
terhadap pendidikan.
Masalah
pendidikan, merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab
pemerintah. Tapi jelas, pemerintah juga tidak bisa melepas tanggung jawab.
Diperlukan keseimbangan dalam memerankan diri mengupayakan perbaikan bidang
pendidikan. Pemerintah bertanggungjawab terhadap aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan, sehingga setiap kebijakan harus didasarkan para perencanaan
yang matang dan mempertimbangkan berbagai situasi yang ada.
B. Problematika Kualitas dan Kuantitas
Pendidikan
Kualitas
pendidikan di Indonesia sekarang ini sangat rendah dari apa yang di harapkan
dan tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak sesuai. Ada dua faktor yang
mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
1.
Faktor
internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan
Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis
depan.Dalam hal ini, interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2.
Faktor
eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat merupakan ikon
pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari
pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang
menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor
tersebut yaitu :
1.
Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2.
Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup
memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih
rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya
dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya
dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya
jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio
guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan
SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak
mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang
kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan
guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat
orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut
pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus
diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas
mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang
belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa
lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya
lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak
memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan
pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan
kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat
kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun
mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentralpendidikan
dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil
sangat besar pada kualitas pendidikanyang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas
guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah,
terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan
guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat
penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi
masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9
Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan
Dosen.
4.
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic
and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking
ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44
negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di
bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations
for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang
berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan
negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia
(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of
Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30%
dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka
sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International
Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan
bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada
pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan
tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia
pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati
peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5.
Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan
Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3
juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi
MurniPendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara
itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan
dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
tersebut.
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S1 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan
hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikandari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas
dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS
di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan
organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperolehpendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.pendidikan
merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk membantu perkembangan
potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai
seorang individu dan sebagai warga negara masyarakat dengan memilih isi
(materi), strategi, kegiatan dan teknik yang sesuai.
Permasalahan pendidikan adalah perbedaan program-program
pendidikan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang terlaksana dilapangan.
Menurut ( TAP MPR RI No. II/MPR/1993 ), semakin besar atau lebar perbedaan yang
di cita-citakan dengan yang ternyata ditemui dilapangan, semakin besar, rumit
atau komplek permasalahan tersebut.
C. Solusi Problematika Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi
masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas
guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar
ada dua solusi yaitu:
·
Solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
·
Solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa.
·
Solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas
guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan
sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka
dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang ber SDM tinggi, berkepribadian pancasila dan
bermartabat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak sekali factor yang
menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor
yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya
sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi
masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah
sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai
objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang
hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap
zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat
untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
B. Saran
Penulis mengetahui bahwa
makalah ini belum sempurna, untuk itu diharapkan kepada dosen pembimbing serta
pembaca ikut memberikan saran agar makalah ini lebih baik untuk selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment